Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi │Skenario Terburuk Kehadiran Hujan

29 Agustus 2018   09:16 Diperbarui: 29 Agustus 2018   10:10 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penerbitdeepublish.com

Hujan masih jauh.  Berteduh pada musim yang belum bergerak di lintang utara. Mungkin sebaiknya kita bersiap saja. Menyiapkan beberapa skenario terburuk atas kehadirannya yang barangkali bisa saja merusak tatanan waktu yang coba kita jaga;

1// dalam perjalanannya kesini. Hujan bisa saja berhenti. Di suatu tempat berdanau yang direnangi banyak angsa. Terlalu terpesona. Lupa lalu memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana.

2// begitu teringat ada belahan bumi lain di mana kita sedang termangu menunggu. Hujan kembali melanjutkan perjalanan waktu. Tertatih-tatih.  Anginlah sekarang yang letih. Menggiring awan tebal bergumpal-gumpal bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi tempat yang dituju begitu berliku.  Penuh tikungan tajam yang diasah oleh banyak pertengkaran.

3// sembari menunggu. Ada baiknya kita menghentikan lolong kesakitan tanah-tanah yang lidahnya meneteskan air liur kepahitan. Setelah sekian lama kekeringan.  Jeritannya begitu dalam membelah malam. Melebihi lolongan serigala yang terpanah purnama. Tepat di jantungnya.

4// bersamaan waktunya ketika kejora meredup. Tepat saat matahari terantuk ufuk. Gemuruh terdengar di kejauhan. Jika bukan suara hujan, maka itu pasti sebuah peringatan. Hujan tak pernah datang sendirian. Selalu diiringi berbagai kemungkinan. Bermula biasa saja, berakhir membabi buta. Atau sebaliknya.

5// apabila pada masanya, hujan sampai meruntuhkan ujung gunung, membanjiri lembah-lembah, meniadakan sungai dan menjadikannya setengah lautan, menenggelamkan atap rumah seolah itu hanyalah nisan yang mengapung,  sesungguhnya yang terburuk benar-benar hadir,  di hadapan kita yang menatap dengan tatapan pandir. 

Semua ini tak lepas dari betapa kita terlalu kikir untuk mendermakan pikir pada hujan yang hanya kita anggap sebagai satu dari halaman takdir.

Jakarta, 29 Agustus 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun