Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Saat Jenazah Laut Dikafani Cuaca

30 Juni 2018   07:33 Diperbarui: 30 Juni 2018   16:41 2131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nusantarakaya.com

Tidak ada yang salah sebetulnya. Ketika garis pantai menutup diri dengan kesedihan. Ganggang dan terumbu karang mengantre mati. Diseret pedati bermuatan zaman yang kelimpungan. Meninggalkan nelayan di buritan kapal. Menyerahkan nahkoda kepada para penjarah yang pura-pura berziarah. 

Laut menjadi semacam kuburan. Menampung segala jenis kematian. Tanpa pemakaman. Karena air tak bisa membuat nisan. Hanya mampu berduka. Ketika saatnya badai tiba.

Laut menjadi kaca yang kusam. Bahkan langit tak bisa berkaca dengan tenang. Birunya menjadi kelabu. Wajah langit menjadi sekeruh ruas bambu yang disayat menjadi sembilu. 

Sekeras apapun gelombang yang coba dicipta. Tak mengaramkan sedikitpun angkara. Hati dan jiwa yang bermuram durja. Menganggap laut selebar kolam ikan. Yang bisa dikuras untuk menjernihkan.

Kesalahan akbar. Laut adalah meja perjamuan besar. Tidak untuk difoya-foya secara barbar. Pada akhirnya saat laut menjadi jenazah. Dikafani cuaca yang koyak moyak. Manusia tak urung akan menjadi semacam tempayak. Dalam bagian sejarah yang rusak.

Bogor, 30 Juni 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun