Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Ini Bukan Kereta Terakhir

25 April 2018   15:00 Diperbarui: 26 April 2018   23:47 2603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay.com)

Kau tersenyum dari balik jendela kaca. Menyuarakan keinginan yang terpendam. Bawa aku ke tempat yang belum pernah aku datangi. Aku mau melihat danau misterius penjaga gunung, kastil dan menara tinggi simbol cinta, pantai berlumut yang pasir-pasirnya dirubuhkan gelombang.

Ini bukan stasiun perhentian terakhir. Masih banyak lagi yang harus disinggahi. Termasuk mesti melewati aura gua sunyaragi. Di mana dulu aku sempat menuliskan kisah tentang para pertapa yang tak tergoda oleh ketelanjangan para iblis yang menyaru sebagai bidadari.

Pucuk-pucuk pohon berlarian. Bertabrakan dengan angin dari arah berlawanan. Menjeritkan terompet kereta berulang-ulang. Aku pulang, aku pulang. Itulah yang terlihat dari kilatan matamu begitu kau melihat ujung langit memerah terang.

Aku katakan kepadamu; ini bukan kereta terakhir yang kau tumpangi. Masih ada banyak lagi rangkaian perjalanan. Melintasi ngarai. Menyeberangi samudera. Menyusuri petak-petak salju. Sampai nanti kau  lunasi semua janjimu. Kepada hati dan mimpimu.

Sampit, 25 April 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun