Cukup banyak hidangan disajikan di meja perjamuan fiksi. Â Ribuan puisi memedaskan hati. Â Biasanya ditujukan pada betapa hambarnya udara pagi setelah diperangkap oleh ketergesaan. Â Tanpa sempat lagi mencium keharuman bunga yang mekar di mana-mana. Â Sungguh sayang, wanginya bisa menjadi rempah yang sangat menghangatkan.
Ribuan puisi lainnya mengutuk kesewenangan penguasa yang tertidur saat wawancara dengan keringat rakyatnya. Â Keringat yang mengalir deras di dalam selokan. Â Tak kelihatan. Â Kecuali bila nanti empunya keringat bermatian di daerah pinggiran.
Lalu ribuan lagi sisanya berbicara tentang cinta. Â Sajian utama yang merupakan nafas dunia. Dari seorang ibu terhadap anak-anaknya. Â Dari seorang lelaki kepada wanitanya. Â Dari seorang manusia kepada langit dan tanah-tanahnya.
Cerita pendek, novel dan dongeng bergulir tak ada habisnya dalam daftar pergantian menu. Â Memilih kapan harus mengkhayal sebagai cinderella atau tiba saatnya menjadi nawangwulan. Â Merangkai salju menjadi rantai kebekuan. Â Menganyam api menjadi tilam tidur saat mengejar mimpi.
Misteri-misteri mengembarai ketakutan akan kehadiran tiba-tiba makhluk tak kasat mata di dalam cermin saat berkaca. Â Menjulurkan tangan berkuku panjang, mencekik kecemasan. Â Mendidihkan aura kekhawatiran. Â Kemudian tersadarkan. Â Dunia ini memang tidak sendirian.
Petuah-petuah pertapa mendapatkan giliran mengajak menikmati kebaikan sebagai bagian dari prasmanan. Â Menuju kelezatan dengan cara-cara yang Tuhan ajarkan. Â Dimulai semenjak nabi dahulu menaiki ontanya dan memasuki gua dengan laba-laba di dalamnya.
Jakarta, 17 April 2018