Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Anggrek Bulan

14 Mei 2017   18:39 Diperbarui: 14 Mei 2017   18:43 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjelang sore.  Ketika temaram mulai menggerakkan bibirnya menyapa.  Kami tiba di suatu tempat yang mirip dengan gua.  Saking rapatnya pepohonan yang melingkupi.  Meskipun suasana mistis terasa kuat, paling tidak aku bernafas sedikit leluasa.  Kakiku pegal dan perutku kaku.  Mataku agak berkunang kunang.  Payah memang.  Orang sok kota padahal terlahir di desa yang dulu malah belum terjangkau listrik.

----

Malam ini kami putuskan untuk menginap di tempat ini.  Pak Karyo bilang, Anggrek Bulan hanya bisa dicari pada saat malam hari.  Saat masih ada sisa temaram bulan atau saat sinar bulan mulai menanjaki purnama.  Beberapa malam ini adalah waktu yang paling tepat untuk mencari. 

Kami mendirikan tenda kecil yang memang sengaja kami bawa.  Cukup untuk berdua.  Setelah menghabiskan dua bungkus mie instant, minum kopi, dan berbincang sebentar, Pak Karyo memintaku mengikutinya. 

Semula aku tidak merasa takut sedikitpun.  Maklumlah orang kota, sekolah tinggi dan berwawasan seluas centong nasi.  Hal hal mistis, magis atau metafisis, sama sekali tidak masuk hitungan matematis dan logis.  Sombong.

Namun semakin malam, sembari menelusuri jalan setapak yang dibuat babi hutan, aku merasakan angin seolah tidak ada di tempat ini.  Daun daun yang aku temui kaku seperti potongan potongan kertas karton.  Pohon pohon tinggi di sekelilingku seperti berubah menjadi raksasa raksasa hidup tapi diam mengintai.  Suara anjing hutan menangisi malam terdengar seperti rintihan makhluk tak kasat mata sedang kesakitan.  Tidak ada suara lain satupun yang memasuki telingaku.  Ini hawa tak biasa.  Pak Karyo bahkan aku lihat merapatkan kain sarung menutupi leher dan telinganya.  Gawat!

Merinding menjalari tubuhku.  Merambat secepat aliran listrik di air mengalir.  Inilah saat yang paling tepat untuk menghitung berapa jumlah bulu di tubuhku.  Semuanya berdiri tanpa ampun.  Hiiiihhh....

----

Pak Karyo memberikan isyarat berhenti.  Orang tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik kantung bajunya.  Sebatang rokok, korek api dan sepotong kecil benda mirip kerikil.  Begitu dinyalakan, bau kemenyan dan klembak melesat naik ke udara yang berhenti.  Ini ritual yang dijelaskan Pak Lurah sebelum berangkat ke sini.  Menghindari lelembut dan banaspati, katanya dengan agak cemas.

Aku mengikuti lagi isyarat Pak Karyo untuk mendekat.  Kami berdua berputar putar mengelilingi sebuah pohon luar biasa besar.  Aku tidak tahu namanya.  Mau tanya Pak Karyo takut mengganggu ritualnya.  Hanya saja ada riak gembira luar biasa di hatiku ketika melihat cahaya samar di sebuah dahan terendah pohon itu.  Anggrek Bulan!

Bau klembak dan kemenyan memenuhi tempat kami berdiri.  Angin yang tetap menjadi udara mati.  Namun tiba tiba suara gemerosokan dan gaduh mengaduk daun daun pohon raksasa itu.  sepertinya terjadi angin lesus.  Anehnya, hanya pohon itu yang diguncang angin kencang.  Aku lihat dedaunan di pohon pohon lainnya sama sekali tidak bergerak.  Sedikitpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun