Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Anggrek Bulan

14 Mei 2017   18:39 Diperbarui: 14 Mei 2017   18:43 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awalnya aku bertanya kepada Pak Lurah,” Ada yang bisa antar saya masuk hutan Alas Purwo Pak?  Saya sedang melakukan penelitian.  Saya akan bayar dengan pantas.”

Pak Lurah mengrenyitkan dahinya yang menghitam karena rajin sholat. 

“Tepatnya dimana anak mau diantar?”  kata katanya sangat lirih.  Seperti takut dibawa angin dan dilaporkan kepada seseorang atau sesuatu.

“Dimana saja Pak.  Yang penting di tempat yang ada tumbuh Anggrek Bulan.  Saya sedang menyelesaikan skripsi saya.  Obyek penelitiannya adalah Anggrek Bulan.”

Pak Lurah mengangguk mengerti.  Tapi tunggu dulu! Anggrek Bulan? Aku harus cek dulu penanggalan.  Ini bulan apa dan tanggal berapa.  Batin Pak Lurah langsung berkeriutan seperti gerbong kereta yang mau lepas saat laju lajunya kereta.

Pak Lurah mengambil penanggalan jawa.  Matanya sebentar terkejut sebentar terpana.  Menggeleng gelengkan kepala lalu bertanya,

“Anak, bisakah waktunya diundur ke bulan depan atau bulan lainnya?”

Aku tergagap tak bisa menjawab.  Sepertinya aku tahu karena apa.

----

Kami menempuh perjalanan dengan berjalan kaki setelah naik mobil dan dilanjutkan motor.  Menurut Pak Karyo, orang yang akhirnya bersedia mendampingiku,  Jalan kaki akan ditempuh selama kurang lebih 4 jam.  Huuffftt, cukup lumayan bagiku yang bukan pencinta alam.

Jalan yang harus dilalui berliku tajam.  Naik turun tidak beraturan.  Nafas yang tersisa dariku hanya sepenggal sepenggal.  Aku lihat Pak Karyo sama sekali tidak ngos ngosan.  Keringatku mengalir seperti air bah.  Sementara Pak Karyo hanya terlihat sedikit basah di bagian punggungnya.

Menjelang sore.  Ketika temaram mulai menggerakkan bibirnya menyapa.  Kami tiba di suatu tempat yang mirip dengan gua.  Saking rapatnya pepohonan yang melingkupi.  Meskipun suasana mistis terasa kuat, paling tidak aku bernafas sedikit leluasa.  Kakiku pegal dan perutku kaku.  Mataku agak berkunang kunang.  Payah memang.  Orang sok kota padahal terlahir di desa yang dulu malah belum terjangkau listrik.

----

Malam ini kami putuskan untuk menginap di tempat ini.  Pak Karyo bilang, Anggrek Bulan hanya bisa dicari pada saat malam hari.  Saat masih ada sisa temaram bulan atau saat sinar bulan mulai menanjaki purnama.  Beberapa malam ini adalah waktu yang paling tepat untuk mencari. 

Kami mendirikan tenda kecil yang memang sengaja kami bawa.  Cukup untuk berdua.  Setelah menghabiskan dua bungkus mie instant, minum kopi, dan berbincang sebentar, Pak Karyo memintaku mengikutinya. 

Semula aku tidak merasa takut sedikitpun.  Maklumlah orang kota, sekolah tinggi dan berwawasan seluas centong nasi.  Hal hal mistis, magis atau metafisis, sama sekali tidak masuk hitungan matematis dan logis.  Sombong.

Namun semakin malam, sembari menelusuri jalan setapak yang dibuat babi hutan, aku merasakan angin seolah tidak ada di tempat ini.  Daun daun yang aku temui kaku seperti potongan potongan kertas karton.  Pohon pohon tinggi di sekelilingku seperti berubah menjadi raksasa raksasa hidup tapi diam mengintai.  Suara anjing hutan menangisi malam terdengar seperti rintihan makhluk tak kasat mata sedang kesakitan.  Tidak ada suara lain satupun yang memasuki telingaku.  Ini hawa tak biasa.  Pak Karyo bahkan aku lihat merapatkan kain sarung menutupi leher dan telinganya.  Gawat!

Merinding menjalari tubuhku.  Merambat secepat aliran listrik di air mengalir.  Inilah saat yang paling tepat untuk menghitung berapa jumlah bulu di tubuhku.  Semuanya berdiri tanpa ampun.  Hiiiihhh....

----

Pak Karyo memberikan isyarat berhenti.  Orang tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik kantung bajunya.  Sebatang rokok, korek api dan sepotong kecil benda mirip kerikil.  Begitu dinyalakan, bau kemenyan dan klembak melesat naik ke udara yang berhenti.  Ini ritual yang dijelaskan Pak Lurah sebelum berangkat ke sini.  Menghindari lelembut dan banaspati, katanya dengan agak cemas.

Aku mengikuti lagi isyarat Pak Karyo untuk mendekat.  Kami berdua berputar putar mengelilingi sebuah pohon luar biasa besar.  Aku tidak tahu namanya.  Mau tanya Pak Karyo takut mengganggu ritualnya.  Hanya saja ada riak gembira luar biasa di hatiku ketika melihat cahaya samar di sebuah dahan terendah pohon itu.  Anggrek Bulan!

Bau klembak dan kemenyan memenuhi tempat kami berdiri.  Angin yang tetap menjadi udara mati.  Namun tiba tiba suara gemerosokan dan gaduh mengaduk daun daun pohon raksasa itu.  sepertinya terjadi angin lesus.  Anehnya, hanya pohon itu yang diguncang angin kencang.  Aku lihat dedaunan di pohon pohon lainnya sama sekali tidak bergerak.  Sedikitpun.

Suara anjing hutan yang merintih rintih tadi berubah ritme menjadi salakan salakan liar tanpa henti.  Diselingi satu suara lain yang aku kenal dan sering lihat di televisi, burung hantu!  Suasana sangat menyeramkan.  Aku teringat saat dulu terbirit birit ketakutan menonton The Ring.  Ya ampuuunn, ini di luar nalar dan kedewasaanku.  Jauh melebihi kekuatan sombongku.

Seluruh tubuhku diguyur keringat yang membanjir.  Untung saja sedikit rasa malu yang tersisa masih bisa kupertahankan.  Aku berhasil tidak kencing di celana!

Energi yang ada di dalam tubuhku lewat bolong bolongnya sholatku, sering batalnya puasaku, tidak adanya wiridku, sudah habis tersedot oleh hawa hitam kelam yang kini menerjang kami berdua.  Kepalaku pusing bukan main.  Tubuhku menggigil.  Gigiku beradu gemeletukan menahan rasa dingin aneh yang masuk ke dalam setiap lubang dalam tubuhku. Aku memasuki fase trance yang tidak bisa dikendalikan.

Aku lihat Pak Karyo juga mengalami hal yang sama.  Lebih parah malah.  Tubuhnya meliuk liuk seperti cacing dipanggang.  Aku sempat melihat sorot matanya sesaat.  Merah tembaga!  Tapi wajahnya seputih kertas tanpa noda.

Aku tidak tahan lagi.  Ini tidak bisa diteruskan.  Terlalu berbahaya!

Sekuatnya aku berlari ke arah Pak Karyo.  Aku tarik lengannya yang sekarang mencoba mencekik lehernya sendiri.  Telinga, hidung dan mulutnya mulai mengalirkan darah.  Selamat!  Di saat saat kritis itu aku berhasil menyeret pergi Pak Karyo.  Secepat cepatnya aku berlari pergi dengan masih menyeret Pak Karyo.  Peduli setan dengan Anggrek Bulan!  Ini benar benar di luar kuasa nalarku.

Aku tidak tahu berapa lama dan berapa jauh jarak yang aku tempuh.  Bahkan arah yang aku tuju pun ngawur.  Aku seperti diberi kekuatan oleh setan kuburan.  Dan setan itu membawaku sampai ke pinggir jalan yang entah dimana.

Ya Tuhan, setan setan memburu kami sampai di sini.  Mata mata bercahaya sebesar bola lampu halogen berhasil mencapai kami.  Aku sudah tidak punya sisa kekuatan lagi.  Tubuhku ambruk bersama Pak Karyo yang kelihatan sangat kesakitan.  Aku hanya ingat mata mata bercahaya itu menyeretku ke dalam perutnya yang panas.  Suara suara derum mengerikan memecah udara malam yang mati.  Aku sepertinya sudah mati!

----

Aku terbangun dengan kepala berat seperti diganduli batu batu puluhan kilo.  Telingaku berdenging.  Keringat sudah habis tuntas.  Aku masih hidup!  Terimakasih Tuhan!

Aku berusaha keras menyadarkan diriku untuk memeriksa sekeliling.  Tapi itu hanya sepersekian detik saja.  Hantaman palu godam menghajar kepalaku dengan telak.  Semua warna berubah putih pucat.  Menarikku dalam pusaran yang ganjil.  Menuju suatu tempat jauh di bawah.  Sebuah ngarai yang terkira dalamnya.

Sebelum dihempas ke dalam ngarai, lamat lamat aku masih mendengar bisikan bisikan mengerikan;

“hrrrrrrr....wuuuussss....aaaaggghhh....!”

“heekkkkkkhhhhh”

“.....meninggal.”

----

Aku di neraka!  Begitu yang pertama kali aku simpulkan.  Hawanya sangat panas.  Tubuhku seperti dimampatkan dalam peti mati.  Tubuhku serasa dibakar dalam upacara ngaben.

Lama sekali aku dengar suara suara muncul lagi.  Suara suara manusia yang aku kenal.  Aku membuka mata dengan berat.  Mamah, Papah, Om Gan, Tante Ir, Adikku Rena, semua mengelilingiku dengan tatapan bersyukur dan lega. Ya Allah, aku masih hidup.  Inilah momen pertama aku menyebut namaNYA dengan begitu ikhlas.

Mereka kemudian bercerita.  Aku dan Pak Karyo ditemukan oleh patroli hutan lindung yang kebetulan melintas di jalan tempatku berlari lintang pukang.  Kami berdua di bawa secepatnya ke rumah sakit di kota karena puskesmas terdekat angkat tangan menangani melihat keadaan kami yang sangat parah.  Tubuh kami seperti habis dikoyak koyak binatang buas.  Padahal petugas petugas meyakinkan semua bahwa di Alas Purwo tidak ada lagi binatang buas yang tersisa.  Paling ganas hanya babi hutan.

3 hari setelah dirawat secara intensif di rumah sakit besar, Pak Karyo meninggal.  Keluargaku yang segera menyusul setelah dikabari, membawaku ke Jakarta.  Aku dirawat secara lebih intensif di RSCM.  Seminggu kemudian aku siuman dengan bekas luka luka cakaran dan gigitan yang membekas dalam. 

----

Hari ini aku boleh pulang dan dirawat di rumah.  Aku bersyukur.  Di rumah akan jauh lebih cepat dan  aman untuk memulihkan kondisi luka lukaku dan trauma psikologis yang terus terusan mencekam jiwaku.

Hari kedua dirawat di rumah aku merasa sudah pulih.  Aku ingin melakukan semua aktifitas pribadi sendiri.  Aku malu kalau harus selalu buang air di pispot dan dimandikan suster.

Sekarang aku berdiri di kamar mandi mewah kamarku.  Berendam akan membuatku nyaman sepertinya.  Aku nyalakan air panas di bath tube.  Menampungnya.  Hawa panas air membuat semua mengembun.  Aku ingin melihat mukaku.  Sudah lama aku tidak melihat mukaku sendiri.

Aku usap cermin besar di atas wastafel.  Tidak kelihatan.  Terlalu berembun.  Dua kali usap, cermin itu jernih kembali.  Memperlihatkan muka Pak Karyo yang berdarah darah menatapku.  Kemudian kedua tangannya yang tidak kelihatan meraih pundakku.  Menarik tubuhku ke dalam cermin.  Aku berteriak minta tolong sekeras kerasnya.  Yang terdengar hanya lenguhan orang tercekik.  Pak Karyo dalam cermin berhasil menarik tubuhku secara keseluruhan masuk ke dalam cermin. 

Aku sadar sepenuhnya. Aku tidak pingsan.  Aku tidak mati terkena pecahan cermin.  Aku berdiri di bawah pohon raksasa di Alas Purwo yang kami kunjungi waktu itu!  Anggrek Bulan itu masih di situ.  Mulai berbunga dan memanggil namaku...

Bogor, 14 Mei 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun