Mohon tunggu...
Michelle Amalia
Michelle Amalia Mohon Tunggu... Mahasiswi/Universitas Jember

Tertarik dengan isu-isu sosial politik dunia dan dinamika hubungan internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tarif Baru Trump: Merkantilisme Bangkit Lagi?

14 April 2025   19:16 Diperbarui: 14 April 2025   19:19 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah kompetisi ekonomi global yang makin ketat, kebijakan tarif kembali menjadi alat strategis dalam menjaga kepentingan nasional. Untuk melindungi kepentingan dalam negeri, negara-negara besar kerap menggunakan kebijakan tarif sebagai senjata. Terbaru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat geger dunia dengan mengumumkan tarif impor baru yang dinilai proteksionis dan mengancam kestabilan perdagangan internasional.


Langkah Kontroversial Trump
Pada 2 April 2025, Trump menetapkan tarif universal sebesar 10% untuk hampir semua barang impor, dan tambahan 25% khusus untuk mobil impor, yang mulai berlaku akhir April. Indonesia, salah satu mitra dagang AS, turut terkena imbas dengan kenaikan tarif hingga 32% pada sejumlah produk unggulan.

Dalam pidatonya, Trump menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari Liberation Day, yaitu langkah membebaskan ekonomi AS dari ketergantungan luar negeri."Kami tidak akan membiarkan negara lain mengeksploitasi kami lagi. Ini adalah langkah untuk mengembalikan kekuatan ekonomi kita dan melindungi pekerjaan di dalam negeri," tegas Trump.  Menurut Trump, Amerika harus “berdiri di atas kakinya sendiri” dan tidak lagi menggantungkan nasib ekonominya pada rantai pasok global yang terlalu kompleks dan rapuh.

Namun, kebijakan ini tak luput dari kritik tajam, baik dari dalam maupun luar negeri. Banyak pihak menilai langkah Trump justru memicu ketidakpastian dan bisa memperburuk kondisi ekonomi global yang sedang rapuh. Langkah Trump ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah dunia sedang menyaksikan kebangkitan kembali merkantilisme?

Apa Itu Merkantilisme?

Merkantilisme adalah teori ekonomi yang berkembang di Eropa abad ke-16 hingga 18. Teori ini menempatkan negara sebagai aktor utama dalam mengatur perekonomian. Tujuannya adalah untuk memperkuat kekuatan politik dan ekonomi nasional melalui pengendalian ketat atas perdagangan internasional.  

Beberapa ciri utama merkantilisme antara lain:

Surplus perdagangan: Negara harus mendorong ekspor sebanyak mungkin dan menekan impor, sehingga bisa mengumpulkan kekayaan berupa emas dan perak.

Proteksionisme: Diterapkan lewat tarif tinggi atau pembatasan impor demi melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing.

Peran negara yang dominan: Pemerintah mengambil alih kendali atas perdagangan, memberikan subsidi kepada industri strategis, dan menetapkan aturan ketat untuk memperkuat posisi ekonomi nasional.

Contoh praktik merkantilisme bisa ditemukan dalam Navigation Acts Inggris (1651), yang membatasi perdagangan kolonial demi mendukung industri lokal. Di Prancis, Jean-Baptiste Colbert menjalankan kebijakan serupa dengan memberikan subsidi besar-besaran kepada manufaktur domestik, serta mendorong kebijakan ekspor agresif untuk membangun kekuatan ekonomi Prancis.

Meskipun merkantilisme kemudian digantikan oleh teori perdagangan bebas ala Adam Smith, elemen-elemen proteksionisme ternyata tetap eksis dalam praktik kebijakan modern. Bahkan negara-negara maju pun masih menggunakan instrumen proteksi seperti subsidi dan tarif untuk menjaga sektor-sektor strategis mereka dari tekanan persaingan global yang ketat.

Rincian Tarif dan Reaksi Global

Kebijakan tarif yang diumumkan Trump pada 2 April 2025 mencakup beberapa poin penting:

Tarif 10% untuk hampir seluruh barang impor, kecuali sektor esensial seperti farmasi dan semikonduktor.

Tarif 25% untuk mobil impor, yang memukul produsen Eropa dan Asia.

Tarif negara-spesifik, seperti terhadap Indonesia, yang dikenai bea masuk tambahan hingga 32% pada produk seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur.

Trump menyatakan bahwa ini adalah cara untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur AS yang selama ini mengalami penurunan karena kompetisi luar negeri dan relokasi pabrik. Menurutnya, outsourcing dan banjir barang murah dari luar negeri telah merusak daya saing industri dalam negeri. Ia juga menekankan pentingnya mengurangi ketergantungan terhadap rantai pasok global yang banyak dikendalikan oleh negara-negara lain, khususnya China.

Namun Senator Elizabeth Warren menilai klaim tersebut menyesatkan. Dalam wawancaranya di CNN, ia mengatakan "Tarif ini tidak membawa kembali pekerjaan manufaktur. Sebaliknya, perusahaan justru memotong tenaga kerja. Kebijakan ini penuh dengan kekacauan dan korupsi."

Ketidakpastian pun merajalela di kalangan pelaku usaha. "Sekarang ada kekacauan... tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan tarif besok, minggu depan, atau bulan depan. Harga terus naik, bisnis ragu untuk berinvestasi, dan keluarga pekerja khawatir tentang pekerjaan mereka," tambah Warren pada 9 April 2025.


Dampak ke Dalam Negeri AS dan Dunia

Kebijakan tarif Trump berdampak luas, bukan hanya ke negara mitra dagang tetapi juga ke dalam negeri AS sendiri. Konsumen menjadi pihak yang paling cepat merasakan efeknya, yaitu harga barang naik serta daya beli melemah.

Senator Ted Cruz menyuarakan keberatannya, "Saya bukan penggemar menaikkan pajak bagi konsumen Amerika." Ia menilai tarif hanya akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat biasa. Sementara itu, Senator John Kennedy menggunakan analogi yang tajam. "Tarif itu seperti whiskey: sedikit di bawah kondisi yang tepat bisa menyegarkan—tetapi terlalu banyak bisa membuat Anda mabuk seperti kambing."

Di sisi lain, sektor pertanian juga terdampak keras. Banyak petani yang bergantung pada ekspor kini kesulitan menembus pasar luar negeri karena balasan tarif dari negara mitra. "Siapa pun yang mengatakan mungkin ada sedikit rasa sakit sebelum kita memperbaiki segalanya perlu berbicara dengan petani saya yang hanya satu panen lagi dari kebangkrutan," ujar Senator Thom Tillis.

Negara-negara lain pun tak tinggal diam. China menaikkan tarif hingga 125% pada produk-produk asal AS. Uni Eropa mulai mempertimbangkan tindakan balasan terkoordinasi. Negara-negara lain seperti Kanada dan Indonesia, juga menyuarakan protes dan mulai menyiapkan langkah-langkah balasan. Dunia pun bersiap menghadapi potensi perang dagang jilid dua.
 

Apakah Ini Merkantilisme Versi 2.0?

Melihat karakteristik kebijakan tarif Trump, muncul kemiripan dengan prinsip-prinsip utama merkantilisme:

Fokus pada surplus perdagangan: Trump ingin mengurangi defisit dagang dan memperkuat produksi dalam negeri, tujuan yang sejalan dengan konsep merkantilisme.

Proteksionisme: Pengenaan tarif tinggi merupakan langkah protektif untuk menghambat barang asing masuk dan menjaga pasar domestik.

Negara sebagai aktor utama: Pemerintah AS di bawah Trump secara aktif mengatur arah perdagangan luar negeri demi kepentingan nasional.

Namun, ada juga perbedaan mencolok:

Trump tidak secara eksplisit mengejar akumulasi logam mulia seperti emas atau perak sebagaimana dilakukan dalam merkantilisme klasik.

Kebijakan ini tampak lebih sebagai strategi politik jangka pendek menjelang pemilu, ketimbang implementasi menyeluruh dari teori ekonomi jangka panjang.

Dari perspektif ekonomi politik internasional, langkah ini menunjukkan pergeseran dari era liberalisasi perdagangan menuju fragmentasi geoekonomi (geoeconomic fragmentation). Lembaga seperti IMF telah memberi peringatan bahwa tren proteksionisme seperti ini bisa memicu ketidakstabilan sistem perdagangan global dan memperburuk hubungan antarnegara, terutama di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, krisis pangan, dan konflik geopolitik.

Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Bagi Indonesia, tarif tambahan hingga 32% jelas menjadi tantangan berat. Produk ekspor unggulan ke AS seperti tekstil, karet, furnitur, dan alas kaki mengalami tekanan besar karena kehilangan daya saing akibat bea masuk tinggi. Hal ini berpotensi menekan neraca perdagangan serta berdampak pada lapangan kerja dalam negeri, terutama sektor industri padat karya.

Namun, ini juga bisa menjadi momen untuk melakukan diversifikasi pasar dan produk. Pemerintah dapat mendorong ekspor ke kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika, serta memperkuat pasar domestik melalui substitusi impor dan hilirisasi industri.

Pemerintah Indonesia juga bisa memanfaatkan momen ini untuk mempercepat hilirisasi industri. Langkah seperti mempercepat perjanjian perdagangan bebas dengan mitra non-tradisional bisa menjadi jalan keluar jangka panjang, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

 

Kebijakan tarif Trump 2025 memperlihatkan bahwa proteksionisme belum mati. Bahkan, dalam situasi global yang tidak stabil, kebijakan ala merkantilisme bisa muncul kembali sebagai strategi nasionalisme ekonomi. Namun, dalam dunia yang saling terhubung seperti saat ini, kebijakan sepihak semacam ini justru bisa menjadi bumerang yang menciptakan ketidakpastian, memicu perang dagang, dan membebani konsumen.

Apakah ini pertanda bangkitnya kembali merkantilisme dalam wujud modern? Atau hanya strategi politik sesaat menjelang pemilu AS?

Satu hal yang pasti, dunia sedang memasuki fase baru dalam peta ekonomi global. Dan Indonesia perlu bersiap lebih cerdas, gesit, dan mandiri untuk bertahan dan berkembang di tengah dinamika ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun