Senator Ted Cruz menyuarakan keberatannya, "Saya bukan penggemar menaikkan pajak bagi konsumen Amerika." Ia menilai tarif hanya akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat biasa. Sementara itu, Senator John Kennedy menggunakan analogi yang tajam. "Tarif itu seperti whiskey: sedikit di bawah kondisi yang tepat bisa menyegarkan—tetapi terlalu banyak bisa membuat Anda mabuk seperti kambing."
Di sisi lain, sektor pertanian juga terdampak keras. Banyak petani yang bergantung pada ekspor kini kesulitan menembus pasar luar negeri karena balasan tarif dari negara mitra. "Siapa pun yang mengatakan mungkin ada sedikit rasa sakit sebelum kita memperbaiki segalanya perlu berbicara dengan petani saya yang hanya satu panen lagi dari kebangkrutan," ujar Senator Thom Tillis.
Negara-negara lain pun tak tinggal diam. China menaikkan tarif hingga 125% pada produk-produk asal AS. Uni Eropa mulai mempertimbangkan tindakan balasan terkoordinasi. Negara-negara lain seperti Kanada dan Indonesia, juga menyuarakan protes dan mulai menyiapkan langkah-langkah balasan. Dunia pun bersiap menghadapi potensi perang dagang jilid dua.
Â
Apakah Ini Merkantilisme Versi 2.0?
Melihat karakteristik kebijakan tarif Trump, muncul kemiripan dengan prinsip-prinsip utama merkantilisme:
Fokus pada surplus perdagangan: Trump ingin mengurangi defisit dagang dan memperkuat produksi dalam negeri, tujuan yang sejalan dengan konsep merkantilisme.
Proteksionisme: Pengenaan tarif tinggi merupakan langkah protektif untuk menghambat barang asing masuk dan menjaga pasar domestik.
Negara sebagai aktor utama: Pemerintah AS di bawah Trump secara aktif mengatur arah perdagangan luar negeri demi kepentingan nasional.
Namun, ada juga perbedaan mencolok:
Trump tidak secara eksplisit mengejar akumulasi logam mulia seperti emas atau perak sebagaimana dilakukan dalam merkantilisme klasik.
Kebijakan ini tampak lebih sebagai strategi politik jangka pendek menjelang pemilu, ketimbang implementasi menyeluruh dari teori ekonomi jangka panjang.