Mohon tunggu...
Michael Alberth
Michael Alberth Mohon Tunggu... Undergraduate English Literature Student at Universitas Airlangga

Digital Creator

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Salah Baca Gerak Tubuh, Salah Paham Budaya? : Belajar Peka terhadap Perbedaan Budaya & Akses Komunikasi!

10 Oktober 2025   02:27 Diperbarui: 10 Oktober 2025   02:27 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : helpguide.org

Pernahkah Anda terlibat dalam sebuah percakapan di mana kata-kata sudah jelas maksudnya, tetapi masih merasa ada "sesuatu" yang terasa salah? Bayangkan jika posisi anda ada di ruang rapat perusahaan multinasional, di bandara internasional, atau bahkan saat anda berinteraksi dengan seseorang dari etnis atau background yang berbeda, kesalahpahaman yang seringkali tidak berasal dari bahasa lisan, melainkan dari isyarat diam: bahasa tubuh.

Di era global yang memungkinkan kita untuk terkoneksi dengan siapa saja, kita tahu bahwa komunikasi yang efektif sangat bergantung pada pesan non-verbal. Isyarat tubuh, seperti gestur, ekspresi wajah, dan kontak mata, memainkan peran krusial dalam menyampaikan makna. Namun, isyarat-isyarat ini bukanlah bahasa universal; ia adalah dialek budaya yang bisa dengan mudah memicu salah tafsir dan bahkan menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan.

Artikel ini akan menganalisis bagaimana perbedaan budaya mempengaruhi produksi dan interpretasi komunikasi non-verbal, dan mengapa pemahaman terhadap akses komunikasi nonverbal ini sangat penting untuk membangun hubungan yang bermanfaat di tengah keragaman.

Gestur Tak Sekadar Gerak: Cerminan Siapa Kamu di Mata Budaya Lain

Gestur atau gerak tangan (kinesics) adalah salah satu bentuk komunikasi non-verbal yang paling aktif dan bervariasi secara budaya. Perbedaan dalam gestur, bahkan yang terlihat sederhana, dapat membawa makna sosial yang mendalam.  

Ambil contoh gestur menunjuk. Di budaya Barat (individualis), menunjuk dengan jari telunjuk umumnya diterima. Sebaliknya, di banyak budaya Timur, gestur ini dianggap konfrontatif dan tidak sopan.  

Sebuah penelitian tentang “Cultural implications through hand gesture in Japanese and Balinese communities” oleh Imelda & Harisa membandingkan gestur tangan pada komunitas Jepang dan Bali menyoroti bagaimana etika sosial dan hirarki menentukan penggunaannya.  

  • Menunjuk Diri Sendiri: Di Jepang, menunjuk hidung dengan jari telunjuk biasanya dilakukan oleh seseorang yang berposisi lebih tinggi. Untuk menunjukkan kesopanan, isyaratnya diubah menjadi meletakkan jari dari dagu ke dada. Sementara itu, dalam masyarakat Bali, meletakkan tangan terbuka di dada adalah isyarat sopan saat berbicara dengan orang yang berkedudukan lebih tinggi. 
  • Memberi Barang: Ketika memberikan barang, orang Jepang dan Bali menggunakan kedua tangan sambil sedikit membungkuk untuk menunjukkan rasa hormat dan kesopanan kepada penerima. Dalam masyarakat Bali, mereka juga memprioritaskan penggunaan tangan kanan karena dianggap lebih sopan dan membawa makna yang baik.

Berbekal penelitian ini, ada pelajaran yang dapat kita petik dan menegaskan bahwa di budaya yang sangat menjunjung etika sosial dan hirarki, isyarat non-verbal selalu disesuaikan untuk menghormati status lawan bicara. Mengabaikan nuansa ini, seperti menggunakan satu tangan saat memberi barang, dapat diartikan sebagai ketidakhormatan atau ketidakpedulian dalam konteks kolektif.

Membaca yang Tersirat: Kontak Mata dan Isyarat Halus dalam Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi non-verbal menjadi sangat krusial dalam konteks komunikasi tidak langsung (indirect replies), sebuah strategi yang sering digunakan budaya kolektivis untuk menjaga keharmonisan dan menghindari kritik terbuka.  

Salah satu isyarat paling kontras adalah kontak mata (eye gaze). Dalam budaya individualistik (Barat), kontak mata langsung sering menunjukkan kejujuran, perhatian, dan self-confidence. Namun, dalam budaya Timur (seperti Tiongkok dan Jepang), menghindari kontak mata (gaze aversion) justru umum dilakukan sebagai tanda hormat, kesopanan, atau kepatuhan kepada lawan bicara. Hio Tong Pang, Xiolin Zhou & Mingyuan Chu dalam Journal of Nonverbal Behavior berjudul “Cross-cultural Differences in Using Nonverbal Behaviors to Identify Indirect Replies” yang meneliti kemampuan penilai Britania (Individualis) dan Tiongkok (Kolektivis) dalam mengidentifikasi jawaban tidak langsung hanya melalui video tanpa suara menemukan adanya perbedaan akses komunikasi yang signifikan.  

  • Kepekaan Budaya Tiongkok: Penilai Tiongkok mampu mengidentifikasi jawaban tidak langsung dari model budaya mereka sendiri dan juga model Britania dengan akurasi yang tinggi. Hal ini mungkin karena paparan yang sering terhadap budaya Barat melalui media, dan budaya mereka sendiri yang mengajarkan kepekaan terhadap harmoni kelompok.  
  • Kebergantungan Britania: Penilai Britania menunjukkan in-group advantage, di mana mereka hanya mahir mengidentifikasi pesan tidak langsung dari model budaya mereka sendiri.  

Hal ini menunjukkan bahwa budaya kolektivis, yang menekankan penahanan ekspresi emosi, secara tidak langsung melatih anggotanya untuk lebih terampil dalam membaca isyarat halus dari berbagai latar belakang. Penilai Tiongkok mengandalkan isyarat seperti menghindari tatapan mata dan durasi waktu menjawab untuk mendeteksi ketidaklangsungan, sementara penilai Britania lebih mengandalkan isyarat ketidakpastian yang eksplisit, seperti gerakan wajah atau gestur tangan terbuka.

Dimensi Non-Verbal Lain yang Memicu Konflik

Selain gestur dan tatapan mata, tiga dimensi non-verbal utama lainnya yang dipengaruhi budaya sering memicu miskomunikasi:

Penggunaan Ruang (Proxemics)

Jarak fisik yang dianggap nyaman dalam berinteraksi (ruang pribadi) sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya yang menekankan individualisme (seperti Amerika) menuntut jarak yang lebih besar daripada budaya kolektivis (seperti Tiongkok). Ketidaknyamanan ini sangat kentara, di mana kedekatan fisik (seperti berdesakan dalam antrian) di budaya kolektivis dapat diartikan sebagai agresif oleh budaya individualis, yang memiliki rasa teritorialitas yang kuat terhadap ruang pribadinya.  

Orientasi Waktu (Chronemics)

Pandangan terhadap waktu (time orientation) mempengaruhi ritme interaksi. Budaya Masa Depan (future-oriented), seperti yang ditemukan di Amerika, berfokus pada perencanaan dan efisiensi, memandang waktu sebagai sumber daya terbatas yang harus dihemat dan diinvestasikan. Sebaliknya, budaya Masa Lalu (past-oriented) cenderung menggunakan tradisi untuk memandu hidup di masa kini dan mengambil pandangan jangka panjang dalam pengambilan keputusan. Benturan terjadi ketika satu pihak mengharapkan efisiensi dan ketepatan waktu (punctuality) yang ketat, sementara pihak lain memprioritaskan proses dan membangun hubungan yang lebih panjang.  

Hierarki dan Jarak Kekuasaan

Perbedaan Jarak Kekuasaan (Power Distance) di berbagai budaya tercermin dalam bahasa tubuh. Dalam budaya dengan jarak kekuasaan tinggi (seperti banyak di Asia), postur tubuh yang merendah, anggukan yang lebih dalam, dan keengganan untuk memberikan feedback langsung adalah cara non-verbal untuk menunjukkan rasa hormat. Pemimpin dari budaya Barat (jarak kekuasaan rendah) harus berhati-hati agar tidak menafsirkan perilaku ini sebagai kurangnya inisiatif atau ketidakmandirian.

Belajar Mendengar dengan Mata dan Hati: Langkah Kecil Menuju Komunikasi yang Sadar Budaya

Komunikasi yang sukses menuntut kita untuk bergerak melampaui etnosentrisme dan mengakui keragaman dalam kode non-verbal. Tidak cukup hanya menghindari isyarat tabu; kita harus mengembangkan kepekaan budaya yang aktif.

Hasil studi Pang, Zhou, dan Chu (2024) menunjukkan bahwa eksposur dan kesadaran budaya dapat meningkatkan kemampuan kita untuk membaca isyarat non-verbal asing. Dengan memahami bahwa seseorang menghindari tatapan mata demi menghormati posisi Anda, atau bahwa permintaan maaf yang terlalu emosional adalah upaya menjaga muka, kita dapat merespons dengan empati, bukan dengan penghakiman. Adapun beberapa tips yang dapat dipelajari agar Anda bisa menjadi komunikator lintas budaya yang unggul dan inklusif:

1. Pelajari Kode Etik Non-Verbal

Kenali perbedaan mendasar dalam kontak mata, penggunaan tangan kanan/kiri, dan ruang pribadi di budaya yang Anda hadapi.
Misalnya, di beberapa negara Asia Timur, menatap mata langsung terlalu lama bisa dianggap kurang sopan, sedangkan di budaya Barat, kontak mata justru tanda rasa percaya diri dan kejujuran. Memahami hal-hal kecil seperti ini dapat membantu Anda menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu terutama saat berinteraksi di lingkungan kerja internasional, pertemuan diplomatik, atau forum multikultural.

2. Hargai Konteks Pembicaraan

Pahami bahwa isyarat non-verbal di budaya kolektivis akan selalu diprioritaskan untuk menjaga harmoni dibanding menampilkan perasaan pribadi yang lugas. Di beberapa masyarakat Asia, misalnya, seseorang bisa tersenyum bukan karena setuju, melainkan karena berusaha menghindari konflik atau menjaga suasana. Sementara itu, di budaya yang lebih individualis, kejujuran ekspresif sering dianggap bentuk keterbukaan dan penghormatan. Belajar membaca konteks sosial di balik setiap gestur membuat komunikasi menjadi lebih empatik dan efektif.

3. Tingkatkan Kepekaan Diri (Awareness)

Alih-alih langsung menghakimi isyarat asing sebagai “aneh,” anggaplah itu sebagai kode yang menarik untuk dipecahkan. Setiap budaya memiliki “bahasa tubuh” masing-masing seperangkat simbol, gerakan, dan ekspresi yang mencerminkan nilai-nilai terdalam masyarakatnya. Menjadi komunikator lintas budaya berarti berani membuka diri terhadap kemungkinan bahwa cara kita berkomunikasi bukan satu-satunya yang benar.

4. Praktikkan Inklusivitas dalam Komunikasi

Sering kali, mereka yang hidup dengan disabilitas menghadapi hambatan tambahan dalam interaksi sosial lintas budaya terutama jika bahasa tubuh dianggap sebagai standar universal. Padahal, bentuk ekspresi seseorang bisa sangat beragam: ada yang menggunakan bahasa isyarat, ada yang bergantung pada perangkat bantu, dan ada yang mengekspresikan emosi dengan cara non-konvensional. Menjadi komunikator yang inklusif berarti belajar menghormati keberagaman cara orang menyampaikan makna, baik melalui suara, tulisan, maupun gerakan.

5. Jadikan Empati sebagai Inti Komunikasi : Empati bukan sekadar “merasa iba,” tapi kemampuan untuk benar-benar mendengarkan bahkan terhadap yang tak diucapkan. 

Saat kita menaruh perhatian pada bahasa tubuh, intonasi, atau jeda dalam pembicaraan, kita sedang membaca emosi dan nilai-nilai yang tersembunyi di balik kata. Inilah inti dari komunikasi lintas budaya yang sejati: kemampuan memahami orang lain tanpa memaksakan cara pandang kita sendiri.


Dengan menyadari bahwa bahasa tubuh adalah kunci yang membuka pintu ke nilai-nilai budaya, kita dapat mengubah potensi konflik menjadi kesempatan untuk membangun jembatan dan mempererat hubungan global di masa depan. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kepekaan bukan lagi pilihan melainkan kebutuhan. Semakin kita belajar membaca perbedaan dengan hati terbuka, semakin luas pula ruang dialog yang bisa kita ciptakan. Karena pada akhirnya, komunikasi lintas budaya bukan sekadar soal memahami orang lain, tapi juga tentang menemukan kembali kemanusiaan kita sendiri di antara keragaman itu.

Authors:
1. Michael Alberth Latupeirissa
2. Yuni Sari Amalia S.S., M.A., Ph.D

Referensi: 

Imelda, I. & Harisal, H. (2024). Cultural implications through hand gesture in Japanese and Balinese communities. JPPI (Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia), 10(3).

Pang, H. T., Zhou, X., & Chu, M. (2024). Cross-cultural Differences in Using Nonverbal Behaviors to Identify Indirect Replies. Journal of Nonverbal Behavior, 48(3).

Zhang, M. (2021). Research on Cross-Cultural Differences in Nonverbal Communication Between America and China. Proceedings of the 2021 5th International Seminar on Education, Management and Social Sciences (ISEMSS 2021), 571.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun