Mohon tunggu...
Meta Sekar Puji Astuti
Meta Sekar Puji Astuti Mohon Tunggu... -

Pengarang buku "Apakah Mereka Mata-Mata?" yaitu buku mengenai kisah orang-orang Jepang di Indonesia sebelum perang (sebelum 1942). Penulis di beberapa kolom koran dan website.\r\n\r\nPengamat sejarah dan budaya. Khususnya wilayah Jepang dan Asia Tenggara. Mencoba untuk belajar apa saja. Saat ini sedang bermukim di Tokyo, Jepang, untuk melanjutkan studi serta mendampingi suami yang sedang ditugaskan di KBRI Tokyo, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Kopi dengan Konsep Unik di Omotesando Koffee, Tokyo

25 Juni 2012   11:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 2554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba saya jatuh cinta dengan kopi. Gara-garanya hanya perkara sepele. Ternyata kopi memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi. Demikian pula sejarah budaya dan pembudidayaan kopi di Indonesia yang telah menorehkan sejarah penting dalam pengenalan budaya kopi ke penjuru dunia. [caption id="attachment_184475" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar Peta di Tisu sekaligus Piring untuk Kashi"][/caption] Indonesia di zaman Hindia Belanda memberikan kontribusi penting bagi sejarah budaya minum kopi di dunia karena biji-biji kopilah yang diperkenalkan kepada perdagangan masal pertama di dunia. Termasuk di Amerika, sehingga tak heran kopi kadang disebut dengan Java, hal ini terkait sejarah tersebut. Belandalah yang melakukan perkebunan komersial pertama di dunia dan melakukan perdagangan masal pertama di dunia. Kebun-kebun kopi ini tentu saja dibuka di Hindia Belanda yang merupakan jajahan Belanda pada masa itu. Tidak saja Amerika, biji kopi pertama juga diperkenalkan kepada masyarakat Jepang dari perkebunan-perkebunan di Nusantara. Sayangnya, masyarakat Indonesia masih belum menghargai budaya minum kopi. Biji-biji kopi kualitas premium masih diperdagangkan untuk keperluan ekspor. Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Jepang dan lain-lainnya merasakan kualitas premium biji Indonesia. Sementara, seperti biasa, masyarakat Indonesia belum menyadari betapa pentingnya untuk mengapresiasi kopi sebagai bagian dari pusaka dan warisan budaya Indonesia. Masyarakat Indonesia juga belum terlalu mengapresiasi bagaimana cara menikmati kopi yang serius. [caption id="attachment_184470" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu Masuk Omotesando Koffee"]

13406231921852605557
13406231921852605557
[/caption] Berbeda dengan di Jepang, yang juga memiliki juga sejarah kissaten (rumah minum teh belakangan juga identik dengan coffee shop) yang panjang, sebagian masyarakatnya memiliki apresiasi yang sangat tinggi dalam menikmati kopi. Didukung dengan kegemaran melakukan berbagai eksperimen dan penelitian, penggemar fanatik kopi bersedia untuk melakukan hal-hal unik dan inovatif dalam mengapresiasi kopi. Berangkat dari rasa penasaran untuk memahami dan mencoba menjadi penggemar kopi, saya mencoba mencari café di Tokyo yang memiliki apresiasi tinggi terhadap kopi. Awalnya berbekal dengan googling di internet. Ada beberapa coffee shop yang direkomendasikan. Karena saya bukan penggemar kopi hitam, maka saya mencoba mencari informasi dengan kata kunci cappucino. Saya masukkan kata best cappucino in Tokyo. Ada beberapa nama coffee shop yang keluar. Akhirnya saya memilih satu yang direkomendasikan sekaligus cukup dekat dari rumah saya. Namun saya cukup terkejut ketika sampai di tempatnya, coffee shop ini sudah tutup. Akhirnya penasaran, saya coba untuk mencoba yang lainnya. Akhirnya pada satu titik, saya membaca 10 coffee shop yang direkomendasikan oleh sebuah pamflet. Keluarlah nama Omotesando Koffee, sebuah rumah kopi yang sangat unik di daerah Omotesando. Daerah Omotesando ini merupakan nama satu perbelanjaan elit di wilayah Shibuya bersebelahan dengan Harajuku, yang terkenal dengan cosplay-nya (padahal tidak sudah tidak banyak orang-orang berkostum cosplay yang bekeliaran saat ini). [caption id="attachment_184471" align="aligncenter" width="300" caption="desain lampu "]
13406232471499506187
13406232471499506187
[/caption] Berbekal dengan rasa penasaran meski banyak yang menulis bahwa tempat ini agak susah untuk ditemukan, saya mencoba untuk mengunjunginya. Berbekal peta dari websitenya Omotesando Koffee saya turun di pintu A2 stasiun Omotesando dari subway Ginza line. Petanya sederhana seperti di link ini. Betul saya salah arah. Saya kembali ke pintu keluar stasiun dan berbalik arah. Nampaknya sudah benar. Ya, saya baca kembali petanya. Nampaknya sudah betul. Sesuai dengan petunjuk saya cari coffee shop yang nampaknya begitu menarik hati. Akhirnya, saya menemukan sebuah rumah tradisional Jepang, yang nampaknya saya lihat seperti foto yang terpampang di blog. Tapi saya masih ragu. Karena sama sekali tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Tapi melihat beberapa bule memegang cangkir kopi, saya akhirnya agak yakin. Sampai akhirnya saya menemukan tulisan Omotesando Koffee di papan berbentuk kotak yang berlubang di tengahnya. Yah, ini dia. [caption id="attachment_184472" align="aligncenter" width="300" caption="Papan Nama Omotesando Koffee"]
1340623291932358410
1340623291932358410
[/caption] Saya masuki dengan sedikit langkah yang ragu. Antara penasaran dan tidak yakin. Akhirnya betul. Nampak sebuah ruangan kecil berbentuk kotak-kotak dengan mesin espresso di tengahnya. Seorang barista yang trendy melayani di tengah kotak itu. Akhirnya saya berdiri di tengah ruangan coffee shop ini. Melihat menu yang ada, saya memilih hot cappucino, minuman standar yang semestinya cukup menjadi indikator kelezatan dari café ini. Selain hot cappucino saya juga meminta kashi. Kashi ini adalah kue (yang selintas bentuknya seperti tahu bacem mini) yang merupakan custard (kue yang berbahan telur, susu dan gula) yang dibakar. Sang barista menanyakan apakah saya ingin membubuhkan gula di cappucino. Saya jawab ya. Dia bertanya apakah 1 sendok, saya jawab 2 sendok (maklum bukan pecinta kopi hitam). Baru pertama kali ini saya mendapatkan pelayanan untuk mencampurkan gula langsung dalam gelas cappucino ini. Nampaknya sang barista juga meyakinkan bahwa gula tercampur dengan sempurna di gelas cappucino saya. [caption id="attachment_184473" align="aligncenter" width="300" caption="Tsukamoto-san barista hari itu"]
1340623339830662812
1340623339830662812
[/caption]

Segelas cappucino cantik dan kashi berbentuk kubus telah berpindah di tangan saya. Saya memberikan 650 yen (sekitar Rp. 70.000) untuk membayarnya. Memang cukup mahal. Tapi, harganya tidak lebih mahal di tempat penjual kopi spesialis seperti ini di Tokyo. Meski harga kopi di Starbuck, Doutour atau Tully Café (café franchise di Jepang) lebih murah dibandingkan harga di rumah kopi ini. Sang barista mempersilahkan saya duduk di mana saja untuk menikmati cappucinonya. Boleh di atas tatami yang tersedia atau di bangku di taman. Tidak ada tempat duduk di coffee shop ini. Saya memilih satu kotak kecil tatami di sudut ruang itu. [caption id="attachment_184476" align="aligncenter" width="300" caption="Taman kecil untuk menikmati kopi"]

13406237141004240049
13406237141004240049
[/caption] Mulailah saya hirup cappucino ala Omotesando Koffee. Susu timnya kental dengan sempurna dan sangat baik konsistensinya. Perlahan saya hirup kopi dan terasa manis lamat-lamat dan gurih dari susu. Betul-betul nikmat. Saya kemudian mengginggit custard bakar yang berbentuk kubus itu. Wah, luar biasanya. Rasanya sangan padu dengan kopi. Saya menyesal memesan cappucino dengan dua sendok kecil gula. Semestinya saya memesan dengan takaran satu sendok atau tanpa gula sama sekali. Kashi yang kenyal karena karamel di luar dan begitu lembut di dalam berpadu sempurna dengan rasa kopi. Wah, nikmatnya tidak terkira. Terasa benar, perpaduan rasa ini telah dilakukan eksperimen yang panjang. [caption id="attachment_184474" align="aligncenter" width="300" caption="cappucino Omotesando Koffee"]
13406233941488898834
13406233941488898834
[/caption] Setelah menikmati cappucino, yang menurut saya sangat nikmat dan sesuai dengan selera, saya bangkit dan berbincang-bincang dengan sang barista yang bernama Tsukamoto-san ini. Ia mengatakan bahwa memang dia dengan sang owner, Kunimoto-san, selalu berusaha mencari rasa yang pas untuk menyajikan kopi. Kedai kopi ini disajikan dalam rumah tradisional Jepang berusia 60 tahun. [caption id="attachment_184479" align="aligncenter" width="300" caption="Merchandise: asbak dari bubuk kopi, kopi biji, saringan ampas kopi dan termos untuk kopi"]
1340624100159337914
1340624100159337914
[/caption] Dia pun juga menyatakan bahwa biji kopi yang digunakan juga menggunakan campuran dengan biji kopi dari Indonesia, tepatnya Mandeling. Ternyata, ada cita rasa Indonesianya juga, ya. Sebelum beranjak pulang saya perhatikan berbagai merchandise menarik hati. Ada recycle bubuk kopi yang dijadikan asbak, ada biji kopi ala Omotesando Koffee, ada penyaring kopi dan termos kopi kecil. Kue kashi yang berbentuk kubus juga dijual untuk take out di dalam kedai kopi dengan desain super minimalis ini. Bagi Anda yang ingin menikmati kopi di kedai di Tokyo ini, juga harus bergegas. Konon kabarnya kedai ini hanya dibuka hingga bulan Januari tahun 2013. [caption id="attachment_184478" align="aligncenter" width="300" caption="Kue kashi yang berbentuk kubus dan kemasan untuk take out"]
1340623843709310371
1340623843709310371
[/caption] Saya kemudian beranjak pulang. Saya masih terkagum-kagum dengan konsep yang sangat menarik dari Omotesando Koffee ini. Sungguh detil dan kreatif. Di sisi lain, konsep yang “sangat” Jepang. Satu hal yang harus saya akui sekali lagi, bangsa Indonesia belum sampai tahap ini. Sekarang belum. Mungkin suatu saat. Saya kira. Tokyo, 25 Juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun