Di tengah gempuran merek global dan turbulensi geopolitik, satu nama lokal justru bersinar: CFC (California Fried Chicken). Bukan sekadar ayam goreng, CFC kini menjadi simbol ketahanan, adaptasi, dan kebangkitan kuliner nasional.
Ketika Ayam Global Tersedak Geopolitik
Dulu, KFC adalah ikon gaya hidup urban. Ayam gorengnya bukan sekadar makanan, tapi simbol status, modernitas, dan globalisasi.Â
Namun sejak 2023, narasi itu mulai retak. PT Fast Food Indonesia Tbk, pengelola KFC Indonesia, mencatat kerugian bersih Rp796,7 miliar sepanjang 2024, naik 91,67% dari tahun sebelumnya.Â
Sepanjang dua tahun terakhir, 66 gerai ditutup dan lebih dari 3.000 karyawan dirumahkan. Utang membengkak hingga Rp3,97 triliun per Juni 2025.
Penyebabnya bukan sekadar pandemi. Aksi boikot terhadap merek-merek Barat akibat konflik Timur Tengah turut memukul KFC.Â
Ditambah volatilitas harga bahan baku, gangguan rantai pasok, dan penurunan daya beli, KFC Indonesia tersedak oleh kompleksitas global yang tak bisa dikendalikan dari dapur lokal.
CFC: Tumbuh dari Akar, Bukan Royalti
Di saat KFC terseok, CFC justru melejit. PT Pioneerindo Gourmet International Tbk (PTSP), pengelola CFC, mencatat pendapatan Rp691,24 miliar sepanjang 2024, naik 10,78%.Â
Laba bersih semester I 2025 mencapai Rp12,61 miliar. PTSP bahkan berencana menambah 30 gerai baru tahun ini.
CFC tak dibebani royalti asing. Ia bebas menyesuaikan menu, harga, dan strategi lokasi. Ayam gorengnya hadir dengan rasa lokal, harga terjangkau, dan narasi yang membumi.Â
Di tengah keresahan terhadap dominasi merek asing, CFC menjadi simbol kedaulatan kuliner nasional.
Mengapa CFC Unggul?