Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Budaya Kerja Bukan Poster; Dari Ilusi Nilai ke Zona Nyata Tim

7 Oktober 2025   20:52 Diperbarui: 7 Oktober 2025   20:52 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 

Di banyak organisasi, kata "budaya" dan "nilai" sering terdengar seperti saudara kembar. Padahal, keduanya bisa sangat berbeda. 

Nilai (values) adalah apa yang ingin kita yakini. Budaya (culture) adalah apa yang benar-benar kita lakukan, terutama saat tak ada yang mengawasi.

Culture is Not Values karya Eric Partaker menyentil kita dengan satu kalimat tajam:  

"Culture is what people do when no one is watching."

Artinya, budaya bukan dibentuk dari poster di ruang rapat atau jargon onboarding. Budaya lahir dari kebiasaan, sistem penghargaan, dan keputusan sehari-hari. Nilai bisa ditulis, tapi budaya hanya bisa dihidupi.

Antara Deklarasi dan Kenyataan

Organisasi bisa menulis "Kami menjunjung transparansi" di dinding kantor. Tapi jika komunikasi internal penuh sensor dan ketakutan, maka budaya yang hidup adalah "kontrol dan kehati-hatian." Nilai menjadi dekorasi, bukan nyawa.

Eric Partaker merumuskan siklus pembentuk budaya secara sederhana tapi tajam:

Apa yang Anda hargai -> Mendorong perilaku -> Menentukan apa yang berlaku -> Membentuk budaya -> Menentukan kembali apa yang Anda hargai.

Culture is not Values,  Sumber: Eric Partaker 
Culture is not Values,  Sumber: Eric Partaker 

Jika yang dihargai adalah kecepatan tanpa refleksi, maka budaya yang terbentuk adalah "buru-buru dan ceroboh." Jika yang dihukum adalah keberanian bersuara, maka budaya yang tumbuh adalah "diam dan patuh."

Pengalaman Lapangan: Poster Bukan Bukti Budaya

Sebagai konsultan, saya kerap diminta melakukan assessment budaya organisasi. Dan hampir selalu, manajemen dengan bangga menunjukkan Values Statement yang tertempel di poster, dinding kantor, bahkan disematkan di website. 

Namun ketika saya bertanya, "Bagaimana program internalisasi nilai-nilai ini dijalankan?", mereka sering kali kelabakan menjawabnya.

Ada anggapan keliru bahwa nilai-nilai yang sudah diumumkan otomatis menjadi budaya perusahaan. Padahal, tanpa proses internalisasi yang nyata - melalui pelatihan, penguatan perilaku, sistem penghargaan, dan keteladanan pemimpin - nilai hanya menjadi dekorasi. 

Budaya tidak lahir dari pengumuman, tapi dari penghayatan.

Inilah yang saya sebut sebagai "budaya semu", di mana organisasi merasa sudah berbudaya, padahal yang hidup hanyalah simbol, bukan substansi.

Dari Poster ke Zona: Memetakan Budaya Tim

The 4 Stages of Work Culture in Teams karya Daniel Hartweg memetakan evolusi budaya kerja tim ke dalam empat tahap utama yang mencerminkan kondisi psikologis, sosial, dan produktivitas tim. Setiap tahap menunjukkan seberapa jauh tim telah menginternalisasi nilai dan membangun budaya yang sehat.

The 4 Stages of Work Culture,  Sumber: Daniel Hartweg 
The 4 Stages of Work Culture,  Sumber: Daniel Hartweg 

The 4 Stages of Work Culture memetakan empat zona budaya kerja berdasarkan realitas psikologis dan sosial yang dialami tim:

1. Toxic (Zona Ketakutan)  

   Tidak ada keamanan psikologis. Orang memilih diam daripada jujur. Konflik dihindari, komunikasi tertutup.

2. Tolerated (Zona Risiko)  

   Ada sedikit dukungan, tapi konflik dan ketidakjelasan masih dominan. Tim bertahan, bukan berkembang.

3. Healthy (Zona Kepercayaan)  

   Ada transparansi, dukungan antar rekan, dan ruang untuk belajar dari kesalahan.

4. Empowered (Zona Keunggulan Budaya)  

   Budaya menjadi kekuatan strategis. Misi jelas, emosi sehat, dan kepemimpinan dipercaya.

Zona "Toxic" dan "Tolerated" sering terjadi ketika nilai-nilai hanya hidup di poster, bukan di sistem. 

Sementara zona "Healthy" dan "Empowered" muncul ketika nilai benar-benar diwujudkan dalam perilaku, keputusan, dan struktur organisasi.

Cerita Nyata: "Kami Menghargai Inovasi, Tapi Semua Ide Ditolak"

Seorang manajer muda pernah berkata, "Di onboarding, kami diajarkan bahwa perusahaan ini menghargai inovasi. Tapi setiap kali saya mengusulkan ide, saya dianggap mengganggu alur."  

Itulah contoh nyata dari ketidaksesuaian antara values dan culture. Nilai menjadi jargon, bukan kompas.

Trilogi Reflektif: Menjawab Kebutuhan Internalisasi

Tantangan ini saya tuangkan dalam tiga buku yang saling melengkapi:

Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 
Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 

Penguatan Shared Values & Corporate Culture  

->Menjawab kebutuhan pasca pandemi untuk kembali ke akar nilai dan membangun budaya yang tangguh.

Merancang Change Management & Cultural Transformation  

->Menyediakan langkah praktis untuk mendiagnosa organisasi, menyusun visi/misi, dan merancang program internalisasi nilai.

Transformasi dari BOSS ke SPIRITUAL GREAT LEADER  

->Menekankan bahwa pemimpin bukan hanya pengarah, tapi penghayat nilai. Tanpa keteladanan, internalisasi akan gagal.

Ketiga buku ini bukan sekadar panduan teknis, tapi juga refleksi spiritual dan sosial tentang bagaimana nilai bisa menjadi nyawa organisasi, bukan sekadar slogan. Bagaimana internalisasi values menjadi Corporate Culture. 

Rumusan Praktis: Agar Nilai Tak Jadi Ilusi

Agar nilai tidak hanya jadi pajangan, organisasi perlu:

1. Menyelaraskan sistem penghargaan dengan nilai yang diusung.  

  Jika ingin budaya "ownership," beri ruang dan tanggung jawab nyata.

2. Memastikan perilaku pemimpin mencerminkan nilai.  

  Pemimpin adalah cermin budaya. Jika mereka tidak konsisten, nilai akan runtuh.

3. Membuka ruang umpan balik dan konflik sehat.  

  Budaya yang sehat bukan bebas konflik, tapi mampu menyelesaikannya dengan bebermartabat.

4. Memetakan zona budaya tim secara berkala.  

  Gunakan kerangka "Fear--Risk--Trust--Advantage" untuk melihat di mana tim Anda berada.

Penutup: Budaya Adalah Nyawa, Bukan Dekorasi

Rollback terhadap budaya palsu bukan kemunduran, melainkan pemulihan. Kita tidak sedang menolak nilai, tapi menuntut agar nilai benar-benar hidup dalam sistem, dalam emosi harian, dan dalam keberanian menyelesaikan konflik.

Budaya kerja bukan dibentuk dari kata-kata, tapi dari keberanian bertindak. Dan dalam dunia yang semakin digital, keberanian itu harus lebih dari sekadar algoritma. Ia harus menjadi nyawa organisasi.

Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 
Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 

"Budaya kerja bukan sekadar slogan di dinding. Ia harus hidup dalam sistem, perilaku, dan keberanian pemimpin. Saya pernah berdiri di ruang itu---bukan untuk memajang nilai, tapi untuk menghidupkannya."  

> Merza Gamal  

> Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun