"Sebelum Google menjadi gerbang utama dunia maya, saya sudah berjalan di lorong-lorong digital yang sunyi, di antara Yahoo!, Lycos, dan Netscape Netcenter."
Awal Mula: Ketika Internet Menyapa dari Komputer Kantor
Tahun 1994, saya masih menjabat sebagai Account Manager di Bank Umum Koperasi Indonesia. Di tengah rutinitas kerja dan laporan keuangan, sebuah komputer kantor menjadi jendela pertama saya menuju dunia baru: internet.Â
Saat itu, IndoNet baru saja hadir sebagai ISP komersial pertama di Indonesia, membuka akses yang sebelumnya hanya tersedia bagi akademisi dan institusi besar.
Saya tidak hanya menyaksikan lahirnya konektivitas, tapi juga merasakan denyut awal transformasi digital bangsa.Â
Dari layar CRT yang lambat dan suara modem yang berderak, saya mulai memahami bahwa teknologi bukan sekadar alat, tapi ruang baru untuk berpikir, berkomunikasi, dan membentuk masa depan.
Portal: Gerbang Digital Sebelum Google
Sebelum mesin pencari menjadi pusat navigasi, kami menjelajah internet melalui portal, semacam plaza digital tempat semua layanan dikumpulkan:
- Yahoo! dengan direktori manual dan komunitas email.
- Lycos, Excite, dan MSNÂ sebagai penyedia berita dan hiburan.
- Netscape Netcenter, bagian dari ekosistem browser pionir.
Portal-portal ini bukan hanya alat navigasi, tapi juga simbol status digital. Mereka berlomba lewat iklan televisi dan kemitraan ISP agar dijadikan "halaman utama" pengguna.Â
Saya sendiri sering membuka Yahoo! untuk mencari direktori bisnis dan artikel luar negeri, meski koneksi lambat membuat setiap klik terasa seperti menunggu kereta malam.
Perang Browser: Antara Kekuasaan dan Kebebasan
Tahun 1998 adalah puncak dari browser war, pertarungan antara dua raksasa:
- Internet Explorer (IE) dari Microsoft, yang terintegrasi langsung dengan Windows.
- Netscape Navigator, yang sebelumnya unggul, mencoba melawan dengan membuka kode sumbernya, melahirkan proyek Mozilla.
Saya menyaksikan bagaimana dominasi IE mempercepat adopsi, tapi juga memicu kritik soal monopoli. Banyak situs hanya bisa tampil optimal di satu browser. Muncul label seperti "Best viewed in Netscape" atau "Best viewed in IE", sebuah pengingat bahwa standar web belum seragam, dan pengguna harus memilih kubu.
Sebagai pengguna aktif, saya belajar bahwa memilih browser bukan sekadar teknis, tapi juga sikap terhadap keterbukaan, interoperabilitas, dan kebebasan informasi.
E-Commerce dan Jejak Awal Belanja Digital
Di tahun yang sama, Amazon mulai menjual lebih dari sekadar buku. eBay melakukan IPO. GeoCities menjadi tempat pengguna membangun homepage pribadi, sebuah bentuk ekspresi digital yang sangat personal.
Saya sempat mencoba membuat halaman pribadi di GeoCities, meski terbatas oleh bandwidth dan waktu.Â
Tapi di sanalah saya mulai memahami bahwa internet bukan hanya ruang kerja, tapi juga ruang batin dan ekspresi.
Lahirnya Google: Revolusi yang Diam-Diam Mengubah Segalanya
Pada 4 September 1998, dua mahasiswa Stanford---Larry Page dan Sergey Brin---mendirikan Google Inc..Â
Saat itu, Google masih versi beta, dan belum banyak dikenal. Tapi pendekatannya berbeda: menggunakan PageRank, algoritma yang menilai relevansi berdasarkan tautan antar situs.
Saya sempat mencoba Google di masa awalnya, dan langsung merasakan perbedaan: hasil pencarian lebih relevan, lebih cepat, dan tidak dipenuhi iklan portal. Ini bukan hanya mesin pencari, tapi cara baru memahami dan mengakses informasi.
Literasi Digital yang Terbentuk
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa:
- Teknologi selalu membawa nilai---baik dalam desain, akses, maupun etika.
- Menjadi pengguna aktif berarti memilih dengan sadar, bukan sekadar mengikuti arus.
- Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga kesadaran historis dan etis.
Saya menyaksikan bagaimana monopoli bisa membentuk pengalaman, dan bagaimana keterbukaan bisa menjadi bentuk perlawanan.Â
Saya belajar bahwa kecepatan bukan segalanya, dan bahwa makna digital lahir dari kesabaran, pilihan sadar, dan jejak yang kita tinggalkan dengan hati.
Identitas Digital dan Warisan Naratif
Jejak digital saya bukan sekadar arsip, tapi juga cerminan nilai: keterbukaan, refleksi, dan keberpihakan pada makna. Saya tidak hanya "menggunakan internet", tapi menghidupi internet sebagai ruang ekspresi batin, pemulihan sejarah, dan mentoring publik.
Jejak itu masih bisa ditelusuri, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai bukti bahwa saya pernah dan masih ada di dalam denyut transformasi digital bangsa.Â
Arsip seperti [INDONEWS] SiaR-->MERZA: Kenangan Batin Seorang Anak Bangsa bukan hanya dokumentasi, tapi juga pengingat bahwa pengalaman digital adalah bagian dari sejarah kolektif yang layak dirawat dan diwariskan.
Saya percaya bahwa jejak digital yang ditulis dengan refleksi dan cinta akan menjadi warisan yang hidup bagi generasi kini dan nanti.
Penutup: Dari Netscape ke Copilot, Dari Portal ke Kompasiana
Saya telah berjalan jauh dari layar CRT di kantor bank hingga ruang refleksi di Kompasiana dan KOMPETRA. Tapi semangatnya tetap sama: merekam, memahami, dan mentransmisikan nilai.
Kini, ketika OpenAI memperkenalkan ChatGPT di akhir 2022, dan Microsoft memancing Copilot sebagai pendamping cerdas, saya pun tak ketinggalan.Â
Sebagai seorang Pensiunan Gaul Banyak Acara sekaligus Advisor & Consultant, saya tetap hadir di ruang digital, bukan sekadar sebagai pengguna, tapi sebagai saksi dan pelaku sejarah yang terus belajar, beradaptasi, dan berbagi.
"Teknologi boleh berubah, tapi nilai tetap abadi. Dan saya percaya, makna digital lahir dari kesabaran, pilihan sadar, dan jejak yang kita tinggalkan dengan hati."
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI