"Hari ini kita menyaksikan sejarah ditulis bukan di Parlemen, bukan di TPS, tapi di Discord."
Nepal. Negara kecil di kaki Himalaya. Tak punya unicorn. Tak punya agensi politik canggih. Tapi punya satu hal yang sering kita abaikan: keberanian kolektif.
Di tengah skeptisisme terhadap sistem lama, anak-anak muda Nepal, Gen Z, memutuskan untuk berhenti berharap. Mereka tak lagi turun ke jalan. Tak lagi menunggu panggung formal. Mereka pindah ke ruang digital. Buka server Discord. Bikin channel. Bikin voting. Dan hasilnya?
Sushila Karki. Mantan Ketua Mahkamah Agung. Perempuan pertama yang pernah duduk di kursi tertinggi pemerintahan Nepal. Bersih. Tegas. Tanpa drama.
Dan yang tak kalah mengejutkan: hasil pemilihan digital itu tidak berhenti sebagai simbol. Presiden Nepal benar-benar mengakui suara anak muda yang disuarakan lewat Discord. Apa yang awalnya tampak seperti eksperimen sosial berubah menjadi keputusan politik yang nyata.
Dari polling digital lahirlah konsensus publik. Dari konsensus, tumbuh tekanan sosial. Â Dan dari tekanan itu, lahirlah keputusan formal.
Nepal, tanpa panggung megah atau protokol panjang, baru saja menulis bab baru dalam sejarah demokrasi. Bukan dengan kekuatan institusi, tapi dengan keberanian warga muda yang percaya bahwa suara mereka layak didengar, meski hanya bermula dari sebuah server Discord.
Sementara kita di sini? Masih sibuk debat di grup alumni soal siapa yang paling cocok jadi MC reuni.
Aktivisme Gen Z: Inklusif, Lintas Batas, dan Tak Lagi Eksklusif
Fenomena ini bukan berdiri sendiri. Seperti yang diangkat dalam Topik Pilihan Kompasiana, kita sedang menyaksikan gelombang baru aktivisme yang inklusif dan lintas isu.Â
Gen Z tak hanya bicara soal politik, tapi juga kesetaraan, lingkungan, kesehatan mental, dan hak minoritas.