Saya tambahkan sedikit keju di atasnya, bukan untuk gaya, tapi untuk memberi kontras rasa dan tekstur.Â
Adonan saya tuang ke dalam baking pan warisan, yang sudah saya lumuri margarin dan tepung. Saya panggang dengan api sedang, sambil menunggu aroma nostalgia memenuhi ruang.
Dan ketika akhirnya matang, saya potong satu irisan. Warnanya cantik, ungu dalam yang berpadu dengan keju parut. Teksturnya lembut, rasanya lezato dan nikmato, begitu kata hati saya.
Tapi lebih dari itu, saya merasa seperti telah melakukan sesuatu yang penting: menghidupkan kembali warisan, menyambung rasa antar generasi, dan memberi makna baru pada benda tua yang nyaris terlupakan.
Saya sudah membayangkan, baking pan ini akan saya gunakan lagi. Mungkin untuk Bika Ambon, mungkin untuk Bolu Kemojo. Saya ingin terus menjadikannya wadah bagi rasa-rasa yang tak hanya mengenyangkan, tapi juga menghangatkan.Â
Karena saya percaya, dapur bukan hanya tempat memasak. Ia adalah ruang spiritual, tempat kita menyulam kenangan, menyambung silaturahmi, dan menghadirkan kembali mereka yang telah pergi melalui aroma, tekstur, dan rasa.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI