Cermin Retak di Tengah Tuntutan yang Belum Dijawab
Pagi 6 September 2025 bukan sekadar penanda waktu. Ia adalah titik tengah dari sebuah janji yang belum ditepati. Sehari sebelumnya, 5 September 2025, tenggat resmi untuk 17+8 Tuntutan Rakyat jangka pendek telah berlalu.Â
Di saat yang sama, dunia tengah menyiapkan panggungnya: Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato di Sidang Umum PBB ke-80 pada 23 September 2025, menempati urutan ketiga pada hari pembukaan. Sebuah kehormatan diplomatik yang menuntut bukan hanya retorika, tetapi integritas.
Namun, di balik sorotan internasional, ada suara yang belum dijawab. Suara rakyat. Suara luka. Suara yang tak bisa dibungkam oleh protokol.
Tuntutan yang Melewati Tenggat Waktu
Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat bukan sekadar daftar. Ia adalah cermin dari nurani publik yang menolak diam. Dari tuntutan transparansi anggaran DPR, penarikan TNI dari ranah sipil, pembebasan demonstran, hingga pembentukan tim investigasi independen atas kematian Affan Kurniawan dan Umar Amarudin, semuanya menyuarakan satu hal: keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak.
Namun hingga tenggat berlalu, hanya sebagian kecil yang dijawab:
- DPR menghentikan tunjangan perumahan dan menangguhkan perjalanan dinas ke luar negeri. Â
- Beberapa fraksi menyatakan komitmen untuk membuka ruang dialog.
Langkah-langkah ini bersifat administratif. Belum menyentuh akar. Belum menyentuh luka.
Sorotan PBB: Diplomasi di Bawah Bayang-Bayang HAM
Kantor HAM PBB telah menyampaikan keprihatinan atas penanganan demonstrasi di Indonesia. Ravina Shamdasani, juru bicara resmi, menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak berkumpul dan berekspresi.Â