Indonesia memasuki paruh kedua tahun 2025 dengan dua wajah yang saling bertolak belakang.Â
Di atas kertas, ekonomi kita terlihat sehat. Pertumbuhan ekonomi mencapai 5,12% dibanding tahun lalu, angka yang cukup tinggi di tengah ketidakpastian global.Â
Harga-harga barang kebutuhan pokok relatif stabil, dengan inflasi di bulan Juli tercatat hanya 2,37%. Bahkan suku bunga acuan Bank Indonesia tetap di angka 5%, memberi sinyal bahwa kondisi moneter masih terkendali.
Namun, di jalanan, kenyataan berkata lain.
Angka yang Tak Menyentuh Kehidupan Sehari-hari
Selama akhir Agustus hingga awal September, ribuan orang turun ke jalan. Mereka bukan hanya memprotes satu kebijakan, tapi menyuarakan rasa kecewa yang sudah lama dipendam.Â
Di tengah demonstrasi, pasar saham Indonesia sempat terguncang. Nilai perusahaan-perusahaan besar di bursa berkurang hampir Rp 200 triliun dalam satu hari.Â
Investor asing mulai menarik dana mereka. Rupiah pun melemah.
Di saat pemerintah menyebut defisit anggaran hanya 0,81% dari PDB, angka yang tergolong aman, masyarakat justru bertanya: ke mana uang negara sebenarnya mengalir?Â
Apakah benar digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat, atau hanya mempercantik laporan?
Ketika Kepercayaan Publik Retak
Demonstrasi yang berkepanjangan bukan sekadar reaksi spontan. Ia adalah gejala dari retaknya kepercayaan. Masyarakat tidak hanya ingin angka bagus, mereka ingin keadilan.Â