Di tengah gemuruh sirene dan langkah kaki yang berbaris di aspal ibu kota, suara rakyat tak lagi hanya bergema di jalanan.Â
Ia telah menjelma menjadi dokumen: 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang disusun bukan oleh elite, melainkan oleh mereka yang selama ini berdiri di pinggir jalan demokrasi.
Tuntutan ini bukan sekadar daftar. Ia adalah cermin dari kelelahan kolektif, dari harapan yang tak kunjung dijawab, dan dari keberanian untuk menyusun ulang arah bangsa.Â
Di saat negara semakin gemuk dengan jabatan dan lembaga, rakyat justru semakin kurus secara ekonomi, secara representasi, dan secara martabat.
Dan kini, menjelang tenggat 5 September 2025, pertanyaannya bukan lagi apakah pemerintah mampu menjawab. Tapi apakah mereka mau mendengar.
17+8 Tuntutan Rakyat: Peta Jalan yang Diabaikan
Tahun ini, rakyat telah menyusun 17+8 Tuntutan---sebuah dokumen moral yang lahir dari luka, harapan, dan keberanian. Tuntutan itu bukan sekadar daftar, tapi cermin: tentang DPR yang harus transparan, tentang aparat yang harus berhenti memukul, tentang buruh yang harus dilindungi, bukan dipolitisasi.
Namun, alih-alih menjawab, pemerintah justru mengumumkan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) dengan status setara menteri. Rangkap jabatan di BUMN tetap jalan. Tunjangan DPR naik. Polisi yang luka saat demonstrasi diberi pangkat luar biasa.
Apakah ini respons terhadap tuntutan? Atau justru pengalihan?
Tenggat yang Mendekat, Pemerintah Masih Diam?
Yang membuat situasi semakin genting adalah kenyataan bahwa deadline 17 Tuntutan Rakyat jangka pendek akan jatuh tempo pada 5 September 2025, hanya dua hari lagi. Tenggat ini bukan sekadar tanggal, melainkan ujian: apakah pemerintah benar-benar mendengar?