Â
Di rak perkakas rumah tangga, di lorong-lorong toko yang dulu bernama Ace Hardware, ada lebih dari sekadar obeng dan tang. Ada kenangan. Ada rutinitas keluarga. Ada pengalaman belanja yang membentuk kebiasaan urban selama tiga dekade.Â
Maka ketika kabar beredar bahwa Ace Hardware akan kembali ke Indonesia, satu hal menjadi jelas: merek bisa pergi, tapi ingatan pelanggan tidak.
Perpisahan yang Tak Pernah Diumumkan
Selama hampir 30 tahun, PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) menjadi wajah dari Ace Hardware global di Indonesia. Toko-toko dengan rak logam rapi, katalog perkakas rumah tangga, dan pelayanan khas menjadi bagian dari ritme hidup masyarakat urban.Â
Namun pada akhir 2024, lisensi Ace Hardware tidak diperpanjang. ACES pun bertransformasi menjadi AZKO, merek lokal yang mewarisi 245 toko, ribuan karyawan, dan jutaan pelanggan setia.
Transformasi ini bukan sekadar rebranding. Ia adalah upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan royalti, membuka ruang inovasi lokal, dan membangun identitas baru yang lebih fleksibel.Â
Tapi transisi ini tidak mudah. Data menunjukkan penurunan laba usaha dan pertumbuhan toko yang stagnan. Publik masih menyebutnya "Ace," meski papan nama telah berganti.
Kembalinya Sang Merek, Tapi Bukan Sang Pengalaman
Kini, Ace Hardware dikabarkan akan kembali ke Indonesia di bawah PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Sebuah entitas baru, dengan kekuatan jaringan ritel dan merek global. Tapi mereka bukan ACES. Mereka bukan AZKO. Mereka adalah Ace Hardware versi baru---pemilik merek, tapi bukan pemilik pengalaman.
Di sinilah dualisme merek mulai terbentuk. Dua entitas, satu nama, dua narasi. AZKO membawa warisan pengalaman, Ace membawa otoritas merek.Â
Keduanya sah, tapi publik bisa bingung: mana yang asli? Mana yang lebih layak dipercaya?
Risiko Dualisme Merek
Dualisme merek bukan hanya soal branding. Ia menyimpan risiko reputasi, fragmentasi pasar, dan konflik naratif.
Kebingungan konsumen: Pelanggan bisa salah mengira bahwa AZKO adalah Ace, atau sebaliknya.
Erosi loyalitas:Â AZKO berisiko kehilangan pelanggan lama. Ace berisiko dianggap "penjiplak" jika tidak menjelaskan narasi globalnya dengan jujur.
Konflik etika:Â Siapa yang berhak atas memori publik? Apakah pengalaman 30 tahun bisa dihapus oleh kembalinya merek global?
Strategi Bertahan dan Bertumbuh
AZKO perlu memperkuat narasi kemandirian: bahwa mereka bukan sekadar "bekas Ace," tapi merek baru yang lahir dari pengalaman panjang.Â
AZKO bisa fokus pada gaya hidup lokal, produk yang relevan, dan komunitas pelanggan yang sudah terbentuk.
Ace Hardware, di sisi lain, bisa masuk lewat segmen profesional, teknologi rumah pintar, dan layanan global yang belum dijangkau AZKO.Â
Tapi Ace harus jujur: bahwa mereka adalah pendatang baru dalam lanskap yang sudah punya sejarah.
Cermin dari Dunia: Ketika Merek Terbelah, Publik Terjebak
Fenomena dualisme merek bukan hal baru. Di berbagai belahan dunia, merek yang terpecah karena konflik lisensi atau perbedaan strategi bisnis telah menimbulkan kebingungan konsumen dan pertarungan naratif yang panjang.
Arc'teryx di Indonesia:Â Merek outdoor asal Kanada menggugat entitas lokal yang menjual produk dengan nama sama tanpa otorisasi resmi. Konsumen pun terjebak antara merek global dan toko lokal yang tampak sah.
IKEA vs PT Ratania Khatulistiwa: IKEA sempat kehilangan hak atas nama di Indonesia karena kelalaian administratif. Merek global pun bisa kalah jika tidak menjaga arsip lokal dengan cermat.
Burger King vs Hungry Jack's (Australia): Karena nama "Burger King" sudah dimiliki pihak lain, merek global harus beroperasi dengan nama berbeda. Ketika mencoba kembali, konflik hukum pun muncul.
Semua kasus ini menunjukkan satu hal: merek boleh sama, tapi makna tak pernah seragam. Dan publik berhak tahu siapa yang menjual apa, dari mana asalnya, dan bagaimana sejarahnya.
Refleksi Penutup: Merek, Memori, dan Martabat Publik
Di tengah persaingan ini, konsumen bukan sekadar target pasar. Mereka adalah pemilik memori. Dan memori, seperti merek, tak bisa diklaim begitu saja.
Maka, kasus Ace-AZKO bukan hanya soal bisnis. Ia adalah pelajaran tentang etika merek, hak konsumen, dan pentingnya arsip naratif yang jujur. Di tengah persaingan ini, konsumen bukan sekadar target pasar. Mereka adalah pemilik memori. Dan memori, seperti merek, tak bisa diklaim begitu saja.
Maka, kasus Ace-AZKO bukan hanya soal bisnis. Ia adalah pelajaran tentang etika merek, hak konsumen, dan pentingnya arsip naratif yang jujur.Â
Karena dalam dunia yang penuh logo dan lisensi, yang paling langka adalah kejujuran tentang asal-usul. Dan yang paling berharga adalah keberanian untuk menjaga martabat ingatan publik.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI