Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Kurasi Makna di Era Digital; Dari Buku ke Generasi Baru

5 Agustus 2025   09:01 Diperbarui: 5 Agustus 2025   09:01 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
File Merza Gamal dari Buku Customer Journey- From Curious to Committed 

Suatu pagi, di sela aroma kopi yang baru diseduh, sebuah buku berwarna jingga menarik perhatian. Judulnya sederhana namun menjanjikan: Customer Journey -- From Curious to Committed. 

Dibuka halaman demi halaman, ditemukan alur strategis, kutipan reflektif, dan persona kunci---termasuk satu yang menggoda untuk ditelusuri lebih dalam: The Luxury Tech Enthusiast.

Tak sekadar profil pemasaran, persona ini memunculkan refleksi yang jauh lebih dalam. Ia bukan hanya konsumen canggih. Ia adalah cerminan dari generasi yang tengah merangkai hidup di persimpangan teknologi, identitas, dan spiritualitas.

Menelusuri Sosok Luxury Tech Enthusiast: Antara Status dan Keheningan

Dalam buku itu, Luxury Tech Enthusiast digambarkan sebagai pria berusia antara 35--55 tahun---yang berarti ia berasal dari Gen X dan Gen Y. 

Mereka adalah generasi transisi: lahir sebelum era digital mendominasi, tetapi kini menjadi penguasa dan kurator pengalaman digital paling kompleks.

Mereka membeli teknologi bukan hanya karena fungsinya, tapi karena "rasa hidup" yang dijanjikan. Jam tangan pintar bukan lagi alat, tetapi perpanjangan kendali diri. Rumah pintar bukan lagi sekadar nyaman, tapi simbol stabilitas batin. 

Namun dalam keheningan layar, muncul pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh chip atau sensor: apakah hidup yang serba canggih ini menyembuhkan, atau sekadar menunda luka?

Menurut Survei McKinsey (2024):  

67% profesional usia 40--55 tahun menggunakan perangkat wearable bukan hanya untuk kesehatan, tetapi juga sebagai penanda status sosial.

Studi Pew Research:  

Kelompok Gen X dan Y cenderung mengaitkan keberhasilan hidup dengan akses terhadap teknologi terkini. Keberhasilan dan kemajuan kerap ditafsir melalui perangkat yang dikenakan, bukan lagi melalui relasi yang dirawat.

Gen Y, Gen Z, dan Gen Alpha: Saling Menyaksikan, Saling Menafsir

Generasi Y tumbuh bersama pertumbuhan teknologi. Mereka menyaksikan transisi dari pager ke smartphone, dari email ke augmented reality. Gaya hidup mereka adalah kolaborasi antara efisiensi dan estetika. Tetapi mereka juga menyimpan ketegangan: antara pencitraan dan pencarian makna.

Di belakang mereka, muncul Gen Z---generasi yang tidak sekadar tumbuh bersama teknologi, tetapi mulai menguji narasi yang diwariskan. Gen Z tidak menerima begitu saja definisi "sukses digital". Mereka adalah pengamat kritis terhadap gaya hidup orang tua dan kakak mereka. 

Mereka menyadari bahwa ada jarak antara layar dan kehadiran, antara koneksi dan kedekatan. Dalam diam, mereka mulai memilih: apa yang layak diwarisi, dan apa yang perlu ditafsir ulang.

Dan di bawah bayang refleksi itu, generasi Alpha menanti. Mereka lahir dalam dunia yang sudah penuh layar. Teknologi bukan hal baru bagi mereka, tapi kondisi dasar kehidupan. Mereka menyerap gaya hidup mewah digital tanpa pernah mengalami "pra-teknologi". 

Justru karena itulah, mereka punya potensi besar untuk mendekonstruksi narasi---bukan menolak, tapi menafsir ulang---jika diberi ruang belajar dari generasi di atasnya.

Jejak yang Ditinggalkan, Narasi yang Dimaknai

Refleksi lintas generasi mengungkap dinamika yang kompleks. Generasi muda tumbuh menyaksikan "kesuksesan digital" sebagai norma. Tetapi mereka juga menyaksikan kegamangan naratif---kehilangan ritual keluarga, krisis identitas, bahkan burnout meski teknologi sudah maksimal. Di balik koneksi yang dijanjikan, mereka melihat keterputusan yang dirasakan.

Di sinilah Gen Z mengambil posisi sebagai jembatan. Mereka tak hanya penerima warisan teknologi, tapi juga calon kurator makna. 

Mentoring untuk Gen Z bukan hanya proses pendampingan, tapi proses pengakuan: bahwa mereka bisa membaca ulang jejak digital, menafsir ulang gaya hidup, dan menjadi penutur nilai bagi generasi Alpha yang menyusul.

The Conscious Curator: Lahirnya Persona Balik

Dari refleksi itu, lahir tokoh baru---bukan dari buku, tapi dari kehidupan: The Conscious Curator. Ia bisa berusia 19 hingga 28 tahun. Ia tidak anti teknologi. Ia memilih dengan bijak. Ia menyusun museum digital keluarga. Ia menulis ulang sejarah pribadi lewat jejak digital yang ia warisi dan pahami. Ia berkata: "Saya memilih apa yang saya simpan, bukan hanya apa yang saya beli."

Persona ini bukan hanya penting bagi generasi muda. Ia menjadi jembatan kesadaran antara era kemewahan dan era kebermaknaan. Dan Gen Z tampak cocok untuk memerankannya---sebagai pembaca, penafsir, sekaligus mentor bagi adik-adik digital mereka yang lebih muda.

Penutup: Dari Buku ke Kehidupan, dari Persona ke Pemaknaan

Membaca buku adalah titik awal. Tetapi kurasi makna terjadi setelah halaman terakhir dibalik. Persona bukan tujuan akhir, melainkan undangan untuk berpikir. Dan Gen Z bukan sekadar penerus, tapi penyeimbang---pembaca sejarah digital yang sedang terjadi, penafsir kegelisahan modern yang tak selalu terucap.

Mentoring di era digital tak cukup dengan membagikan tautan atau memberi saran aplikasi. Ia memerlukan kehadiran, refleksi, dan keberanian untuk menanyakan ulang: apakah hidup yang terkoneksi ini benar-benar membuat kita terhubung?

Narasi besar bukan tentang teknologi itu sendiri. Tapi tentang bagaimana manusia---dalam kesenyapan dan kilau layar---menemukan dirinya kembali.

Penulis:  

Merza Gamal  

Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun