Kelompok Gen X dan Y cenderung mengaitkan keberhasilan hidup dengan akses terhadap teknologi terkini. Keberhasilan dan kemajuan kerap ditafsir melalui perangkat yang dikenakan, bukan lagi melalui relasi yang dirawat.
Gen Y, Gen Z, dan Gen Alpha: Saling Menyaksikan, Saling Menafsir
Generasi Y tumbuh bersama pertumbuhan teknologi. Mereka menyaksikan transisi dari pager ke smartphone, dari email ke augmented reality. Gaya hidup mereka adalah kolaborasi antara efisiensi dan estetika. Tetapi mereka juga menyimpan ketegangan: antara pencitraan dan pencarian makna.
Di belakang mereka, muncul Gen Z---generasi yang tidak sekadar tumbuh bersama teknologi, tetapi mulai menguji narasi yang diwariskan. Gen Z tidak menerima begitu saja definisi "sukses digital". Mereka adalah pengamat kritis terhadap gaya hidup orang tua dan kakak mereka.Â
Mereka menyadari bahwa ada jarak antara layar dan kehadiran, antara koneksi dan kedekatan. Dalam diam, mereka mulai memilih: apa yang layak diwarisi, dan apa yang perlu ditafsir ulang.
Dan di bawah bayang refleksi itu, generasi Alpha menanti. Mereka lahir dalam dunia yang sudah penuh layar. Teknologi bukan hal baru bagi mereka, tapi kondisi dasar kehidupan. Mereka menyerap gaya hidup mewah digital tanpa pernah mengalami "pra-teknologi".Â
Justru karena itulah, mereka punya potensi besar untuk mendekonstruksi narasi---bukan menolak, tapi menafsir ulang---jika diberi ruang belajar dari generasi di atasnya.
Jejak yang Ditinggalkan, Narasi yang Dimaknai
Refleksi lintas generasi mengungkap dinamika yang kompleks. Generasi muda tumbuh menyaksikan "kesuksesan digital" sebagai norma. Tetapi mereka juga menyaksikan kegamangan naratif---kehilangan ritual keluarga, krisis identitas, bahkan burnout meski teknologi sudah maksimal. Di balik koneksi yang dijanjikan, mereka melihat keterputusan yang dirasakan.
Di sinilah Gen Z mengambil posisi sebagai jembatan. Mereka tak hanya penerima warisan teknologi, tapi juga calon kurator makna.Â
Mentoring untuk Gen Z bukan hanya proses pendampingan, tapi proses pengakuan: bahwa mereka bisa membaca ulang jejak digital, menafsir ulang gaya hidup, dan menjadi penutur nilai bagi generasi Alpha yang menyusul.