"Saya ingin menciptakan gelombang budaya Indonesia seperti Korean Wave," ujar Pandu Patria Sjahrir, Chief Investment Officer Danantara, dalam sebuah konferensi pers baru-baru ini.Â
Kalimat itu langsung menyulut diskusi hangat di berbagai ruang publik digital Indonesia.
Apa maksud di balik ambisi ini? Mengapa sovereign wealth fund sebesar Danantara tiba-tiba melirik K-Pop dan drama Korea, alih-alih fokus sepenuhnya pada infrastruktur atau energi hijau?Â
Apakah ini strategi berani atau langkah yang justru berisiko bagi kedaulatan budaya bangsa?
Dari Kekaguman ke Strategi
Keberhasilan Korea Selatan menjadikan budaya pop mereka sebagai kekuatan global memang menggoda. K-Pop bukan hanya urusan musik. Ia adalah wajah Korea di dunia, produk ekspor, alat diplomasi, bahkan inspirasi ekonomi. Kesuksesan BTS, Blackpink, dan drama Korea seperti Squid Game bukanlah kebetulan.Â
Itu hasil strategi panjang yang melibatkan negara, industri, dan masyarakat sipil.
Melalui Hallyu, atau Korean Wave, Korea membuktikan bahwa budaya bisa lebih berpengaruh dari senjata. Ia menembus batas bahasa dan agama. Ia masuk lewat TikTok, Netflix, hingga panggung Grammy.Â
Maka ketika Pandu Patria menyebut keinginannya melahirkan I-Wave---Indonesia Wave---ia sedang berbicara tentang mimpi besar: menempatkan budaya Indonesia sebagai kekuatan lunak yang diakui dunia.
Apa Itu Danantara?
Danantara adalah sovereign wealth fund Indonesia terbaru yang resmi diluncurkan pada Februari 2025. Mengelola aset lebih dari USD 900 miliar, Danantara dirancang sebagai kendaraan investasi jangka panjang Indonesia.Â
Dalam pidato resminya, Presiden menyebut Danantara sebagai "strategi generasi baru untuk mempercepat lompatan ekonomi nasional".
Uniknya, Danantara tidak hanya membidik sektor keras seperti mineral kritis atau infrastruktur digital, tetapi juga sektor lunak seperti ekonomi kreatif dan budaya.
Melirik K-Pop: Peluang atau Pengalihan?
Dalam wawancara dengan Reuters, Pandu Patria mengungkapkan bahwa Danantara membuka peluang kolaborasi dengan entitas hiburan Korea Selatan.Â
Namun langkah ini segera memicu pertanyaan: mengapa dana negara, yang berasal dari sumber daya alam dan kerja keras rakyat, justru akan diinvestasikan ke luar negeri untuk memperkuat produk budaya asing?