Suatu pagi, di sela aroma kopi yang baru diseduh, sebuah buku berwarna jingga menarik perhatian. Judulnya sederhana namun menjanjikan: Customer Journey -- From Curious to Committed.Â
Dibuka halaman demi halaman, ditemukan alur strategis, kutipan reflektif, dan persona kunci---termasuk satu yang menggoda untuk ditelusuri lebih dalam: The Luxury Tech Enthusiast.
Tak sekadar profil pemasaran, persona ini memunculkan refleksi yang jauh lebih dalam. Ia bukan hanya konsumen canggih. Ia adalah cerminan dari generasi yang tengah merangkai hidup di persimpangan teknologi, identitas, dan spiritualitas.
Menelusuri Sosok Luxury Tech Enthusiast: Antara Status dan Keheningan
Dalam buku itu, Luxury Tech Enthusiast digambarkan sebagai pria berusia antara 35--55 tahun---yang berarti ia berasal dari Gen X dan Gen Y.Â
Mereka adalah generasi transisi: lahir sebelum era digital mendominasi, tetapi kini menjadi penguasa dan kurator pengalaman digital paling kompleks.
Mereka membeli teknologi bukan hanya karena fungsinya, tapi karena "rasa hidup" yang dijanjikan. Jam tangan pintar bukan lagi alat, tetapi perpanjangan kendali diri. Rumah pintar bukan lagi sekadar nyaman, tapi simbol stabilitas batin.Â
Namun dalam keheningan layar, muncul pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh chip atau sensor: apakah hidup yang serba canggih ini menyembuhkan, atau sekadar menunda luka?
Menurut Survei McKinsey (2024): Â
67% profesional usia 40--55 tahun menggunakan perangkat wearable bukan hanya untuk kesehatan, tetapi juga sebagai penanda status sosial.
Studi Pew Research: Â