Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Balik Angka-Angka Kemiskinan Bank Dunia & BPS; Ketika Statistik Tak Mampu Menyembunyikan Kenyataan

8 Mei 2025   12:36 Diperbarui: 8 Mei 2025   12:36 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Di trotoar kota, seorang bapak tua duduk bersandar pada dinding ruko yang tutup. Di hadapannya, mangkuk plastik tergeletak kosong. Ia bukan pengemis, katanya. Ia hanya menunggu keberuntungan lewat. Tapi dari cara pandangnya, kita tahu: ia sedang menunggu harapan.

Barangkali bapak itu tak pernah tahu bahwa menurut data BPS, jumlah orang miskin di Indonesia "hanya" 9,36% pada Maret 2024. 

Barangkali ia pun tak paham bahwa Bank Dunia menyebutkan 60,3% penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi rentan miskin. Yang pasti, ia hidup dalam ketidakpastian.

Dua Angka, Dua Realita

Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia memiliki dua versi tentang siapa yang disebut miskin. BPS menggunakan garis kemiskinan yang berbasis pada kebutuhan minimum kalori (2.100 kkal per hari) dan pengeluaran non-makanan pokok, yang dihitung sekitar Rp550 ribu per bulan per kapita (2024).

Di sisi lain, World Bank memakai pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) --- ukuran kemiskinan internasional berdasarkan kemampuan daya beli. Ambang batasnya:

  • US$ 2,15 per hari untuk ekstrem miskin,
  • US$ 3,65 dan US$ 6,85 per hari untuk kategori menengah bawah dan rentan.

Dengan konversi dan penyesuaian biaya hidup, World Bank menyebut sekitar 60% warga Indonesia berada dalam kondisi "rentan miskin" --- artinya, mereka bisa jatuh miskin sewaktu-waktu hanya karena satu kejadian: PHK, sakit, harga naik, atau gagal panen.

Apa Dampaknya? Bukan Sekadar Angka Kosong

Perbedaan ini bukan sekadar selisih metode. Ia menciptakan jurang persepsi yang bisa mengaburkan realitas dan memengaruhi kebijakan:

  1. Kebijakan Berbasis Data yang Terbatas
    Jika kita percaya angka BPS yang menyebut hanya 26,2 juta orang miskin, maka program bansos bisa saja dikurangi. Tapi kalau kita merujuk World Bank, berarti sekitar 160 juta rakyat Indonesia masih berada di ambang kemiskinan. Itu bukan jumlah yang bisa diabaikan.

  2. Rakyat Sulit Percaya Angka Resmi
    Ketika harga beras melonjak, tarif listrik naik, dan lapangan kerja makin sempit, masyarakat bertanya: "Katanya ekonomi membaik? Kok hidup makin susah?"

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Money Selengkapnya
    Lihat Money Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun