Di satu sisi layar televisi, seorang karyawan menangis diam-diam sambil merapikan barang dari meja kantornya. Di sisi lainnya, seorang pemilik usaha kecil menatap kosong laporan keuangan yang tak kunjung membaik.Â
Sementara itu, di dunia maya, kata "PHK" kembali menjadi topik panas---lebih sering menjadi kepanikan daripada perbincangan solusi.
Itu bukan sinetron. Bukan juga rekayasa drama media sosial. Itu kenyataan kita hari ini. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah menerpa Indonesia, dan jika tidak diantisipasi, ia bisa menjelma menjadi badai besar yang menggulung ekonomi keluarga dan daya beli rakyat.
Bukan Sekadar Angka di Layar
Sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025, sejumlah perusahaan besar---mulai dari industri tekstil di Jawa Barat, startup digital, hingga pabrik manufaktur---melakukan PHK massal.Â
Data dari berbagai laporan mencatat ribuan karyawan terpaksa kehilangan pekerjaan akibat kombinasi tekanan ekonomi global, efisiensi korporasi, dan permintaan pasar yang melemah.
Ironisnya, di tengah semua ini, pemerintah sempat menyampaikan bahwa tidak ada PHK besar-besaran di Indonesia. Pernyataan ini memantik respons keras masyarakat, terutama para pekerja dan serikat buruh, yang setiap hari justru merasakan denyut nyata dari gelombang ini.Â
Kenyataan di lapangan berkata lain: PHK bukan sekadar ancaman, melainkan realitas yang mengguncang.
Apa yang Salah? Dan Apa yang Perlu Dibenahi?
Fenomena ini tidak bisa dipandang hanya sebagai urusan perusahaan semata. Ia adalah persoalan struktural. Saat daya beli menurun, ekspor menyusut, dan investasi baru tersendat, maka perusahaan akan memangkas pengeluaran---dan celakanya, tenaga kerja jadi tumbal paling awal.
Kondisi fiskal negara juga sedang tidak ideal. Pemerintah tengah berjibaku menutup defisit anggaran, sementara harga pangan dan energi juga terus bergerak naik. Sumber-sumber penyelamatan seperti subsidi upah, insentif usaha, atau program padat karya semakin sulit diwujudkan tanpa menambah beban utang.
Lalu, bagaimana kita mencegah gelombang PHK ini berubah menjadi badai sosial?
Solusi yang Membumi: Bukan Sekadar Teori
Solusi bukanlah daftar impian. Ia harus realistis, konkret, dan bisa dilaksanakan. Beberapa langkah antisipatif yang relevan dengan kondisi Indonesia hari ini antara lain:
Maksimalkan Dana Non-APBN
Misalnya melalui BLU (Badan Layanan Umum), dana CSR perusahaan besar, atau optimalisasi BUMN untuk menggelar program padat karya skala kota-kabupaten.Refocusing Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah
Belanja non-urgent seperti perjalanan dinas, seremonial, dan proyek jangka panjang bisa ditunda untuk dialihkan sementara ke sektor penyerapan tenaga kerja.Dorong Investasi UMKM dan Industri Lokal Padat Karya
Tidak perlu selalu menunggu investor asing. Kembangkan potensi lokal: pengolahan hasil tani, kerajinan, pariwisata berbasis komunitas.Stimulus Fiskal yang Terukur dan Bersyarat
Jika insentif diberikan ke perusahaan, harus diikat dengan syarat tidak melakukan PHK selama periode tertentu.Tingkatkan Perlindungan Sosial dan Skema Transisi Karier
BPJS Ketenagakerjaan bisa lebih aktif dalam pelatihan ulang dan penempatan kerja baru. Kerja sama dengan sektor swasta dan universitas sangat dibutuhkan.Komunikasi yang Jujur dan Transparan dari Pemerintah
Masyarakat bisa menerima kenyataan pahit jika disampaikan dengan jujur dan dengan peta jalan solusi yang meyakinkan.
Menghadang Badai Sebelum Terlambat
Gambar ilustrasi yang Anda lihat di atas adalah metafora yang menggugah: gelombang besar bertuliskan "LAYOFFS" siap menggulung pekerja yang panik, sementara seorang figur di tepi pantai mencoba menghalau. Ia bisa siapa saja---pemimpin, pengusaha, akademisi, atau kita sebagai masyarakat sipil.
Apakah kita hanya akan menonton dari jauh sambil mengeluh di media sosial? Atau justru memilih menjadi bagian dari orang-orang yang menyalakan lentera kecil di tengah malam panjang ini?
Indonesia sudah berpengalaman menghadapi krisis. Dari badai 1998 hingga pandemi 2020, kita selalu menemukan cara bangkit. Namun kuncinya satu: jangan menunggu badai datang baru bersiap. Hadang gelombang sebelum ia menjadi badai.
Artikel ini ditulis sebagai panggilan nurani dan ajakan berdiskusi bersama: para pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, akademisi, pengusaha, dan seluruh warga yang peduli masa depan bangsa.
Jika Anda merasa artikel ini berguna, silakan sebarkan. Semoga dari keresahan hari ini lahir keteguhan untuk menjaga Indonesia tetap kokoh berdiri.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI