Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Realita Pertumbuhan Ekonomi di Bawah 5 persen dan Alarm #IndonesiaGelap

5 Mei 2025   20:46 Diperbarui: 5 Mei 2025   20:46 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI

Kuartal pertama 2025 menorehkan catatan yang menggelitik sekaligus mengkhawatirkan: pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,87% (YoY). Angka ini, meskipun tidak terpuruk, jelas di bawah ekspektasi banyak pihak. 

Sejumlah ekonom sebelumnya telah memproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada periode ini, tetapi realisasi 4,87% tetap menjadi pukulan psikologis tersendiri. 

Bahkan, tajuk berita "Breaking: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal I/2025 hanya 4,87%" dari Bisnis.com viral dan memicu diskusi panas di media sosial. 

Tak sedikit pula yang mengaitkannya dengan tagar-tagar yang kini tengah menggema: #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu.

Realita di Balik Angka

Sejatinya, angka pertumbuhan ekonomi hanyalah ujung dari spektrum yang luas. Ia adalah hasil akhir dari berbagai dinamika: konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, ekspor-impor, hingga ekspektasi pasar. Maka ketika pertumbuhan ekonomi melambat, kita perlu bertanya: apa yang salah?

  1. Konsumsi Rumah Tangga yang Tidak Menggeliat
    Padahal ini adalah kontributor terbesar PDB (lebih dari 52%), namun inflasi pangan, suku bunga yang masih tinggi, dan tekanan biaya hidup membuat masyarakat memilih menahan belanja.

  2. Investasi Masih Tertahan
    Ketidakpastian global dan kebijakan dalam negeri yang dinilai belum cukup pro-investasi membuat banyak pelaku usaha memilih bersikap wait and see. Di sisi lain, hilirisasi yang digadang-gadang sebagai penyelamat, belum memberikan hasil maksimal secara luas.

  3. Belanja Pemerintah Tidak Maksimal
    Ini adalah ironi tersendiri. Pemerintah memiliki ruang untuk mendorong pertumbuhan melalui pengeluaran produktif, tetapi realisasinya belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah beban pembayaran utang yang semakin besar dan kewajiban jatuh tempo yang menyita ruang fiskal.

Hutang dan Belanja Negara: Dilema Fiskal

Dengan rasio utang terhadap PDB yang terus mendekati batas aman (sekitar 39%), dan beban bunga utang yang membengkak, pemerintah menghadapi dilema: antara memenuhi kewajiban pembayaran dan melanjutkan proyek-proyek pembangunan. 

Belanja infrastruktur besar memang terus berjalan, namun terkadang efek ekonominya tidak langsung terasa di tingkat masyarakat bawah. 

Sementara program yang bersifat langsung menyentuh daya beli, seperti bantuan sosial dan subsidi, tidak mampu menutupi tekanan biaya hidup secara menyeluruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun