Takdir yang Ditentukan oleh Sang Pencipta
Dalam kehidupan ini, sering kali kita merasa bahwa cobaan datang begitu berat, seolah-olah dunia tidak berpihak kepada kita. Namun, di balik setiap ujian, ada tangan tak terlihat yang mengatur segalanya dengan penuh hikmah. Takdir yang terlihat pahit di awal, bisa jadi adalah jalan yang disiapkan untuk sebuah peran besar di masa depan.
Surah Al-Qasas menggambarkan perjalanan hidup Nabi Musa sejak lahir hingga perjuangannya menghadapi Fir'aun dan kaumnya. Salah satu bagian yang paling berharga dari surah ini adalah kisah Musa sebagai pemimpin yang dipersiapkan Allah (ayat 14-28).
Musa mengalami berbagai ujian sejak muda, termasuk terasing dari keluarganya, melakukan kesalahan yang membawanya ke pelarian, hingga pengasingan ke negeri Madyan. Semua peristiwa itu bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari skenario Ilahi yang membentuknya menjadi pemimpin sejati.
Nabi Musa tidak lahir dalam kemudahan, tetapi justru ditempa oleh kesulitan. Ia tidak dibesarkan oleh keluarganya, melainkan di istana musuhnya sendiri. Ia tidak memulai misinya dari tempat yang megah, tetapi justru dari pengasingan di negeri yang jauh.
Namun demikian, semua itu adalah bagian dari rencana Allah untuk menjadikannya seorang pemimpin besar yang kelak membebaskan kaumnya dari perbudakan.
Masa Muda yang Penuh Ujian
Nabi Musa tumbuh di lingkungan istana Fir'aun, meskipun ia bukan bagian dari keluarga kerajaan. Ia adalah anak yang diselamatkan Allah dari pembunuhan massal bayi laki-laki Bani Israil. Fir'aun, yang takut akan ramalan tentang seorang laki-laki dari Bani Israil yang akan menggulingkan kekuasaannya, memerintahkan pembantaian besar-besaran.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Musa justru dibesarkan di rumahnya sendiri, di bawah asuhan istri Fir'aun yang penuh kasih sayang.
Di istana, Musa menikmati kehidupan yang penuh kemewahan, tetapi hatinya tetap terikat dengan kaumnya, Bani Israil, yang hidup tertindas. Suatu hari, ketika ia telah beranjak dewasa dan kekuatannya semakin besar, ia melihat seorang bangsa Mesir memperlakukan seorang Bani Israil dengan kejam.
Hatinya bergejolak. Tanpa sadar, ia memukul pria itu, dan dalam sekejap, nyawa pun melayang. Musa terkejut. Ia tidak berniat membunuh, tetapi peristiwa itu mengubah segalanya.
Tak butuh waktu lama sebelum kabar itu tersebar. Fir'aun, yang selama ini menganggap Musa sebagai bagian dari istananya, kini melihatnya sebagai ancaman. Para penasihat Fir'aun merancang rencana untuk menangkap dan menghukum mati Musa.
Namun, sebelum mereka berhasil, ada seseorang yang datang memberi peringatan: "Wahai Musa, para pembesar tengah berunding untuk membunuhmu. Pergilah dari sini, segeralah menyelamatkan diri."
Musa pun melarikan diri. Ia meninggalkan kemewahan istana dan berlari ke arah Madyan, sebuah negeri yang jauh, tanpa bekal, tanpa arah, hanya bersandar kepada Allah. Dalam perjalanan panjangnya, ia merasakan betapa hidup di dunia ini begitu rapuh. Lapar, haus, dan kelelahan menyergapnya. Namun, ia terus melangkah, dengan satu keyakinan: Allah pasti akan menolongnya.
Di Tanah Pengasingan: Ujian dan Pembelajaran di Madyan
Setelah perjalanan yang melelahkan, Musa tiba di sebuah sumur di negeri Madyan. Ia melihat sekelompok orang sedang memberi minum ternak mereka, sementara di kejauhan, dua orang wanita berdiri menunggu. Musa, yang hatinya penuh dengan kepedulian, mendekati mereka dan bertanya mengapa mereka tidak ikut mengambil air.
"Kami tidak bisa mengambil air sebelum para penggembala selesai, dan ayah kami adalah seorang lelaki tua yang sudah tak mampu lagi," jawab mereka.
Musa, meskipun kelelahan, segera membantu mereka. Ia menggiring ternak mereka ke sumur dan memberinya minum. Setelah selesai, ia duduk di bawah pohon, menenangkan hatinya, lalu berdoa dengan penuh ketundukan:
"Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al-Qasas: 24)
Allah tidak membiarkan hambanya yang ikhlas dalam kesulitan. Tak lama setelah itu, salah satu dari dua wanita tadi datang menghampiri Musa dengan langkah malu-malu. "Ayah kami mengundangmu, untuk memberi upah atas bantuanmu," katanya.
Musa pun mengikuti wanita itu menuju rumah ayah mereka, Nabi Syu'aib. Di sana, ia menceritakan semua perjalanannya---dari istana Fir'aun, pembunuhan yang tidak disengaja, hingga pelariannya ke Madyan. Nabi Syu'aib, seorang lelaki bijaksana, memahami bahwa pemuda di hadapannya bukanlah orang biasa.
Salah satu putrinya kemudian berkata kepada ayahnya, "Wahai Ayahku, ambillah dia sebagai pekerja. Sesungguhnya, orang terbaik yang bisa engkau ambil adalah yang kuat dan dapat dipercaya."
Musa akhirnya tinggal di Madyan dan bekerja untuk Nabi Syu'aib. Sebagai bentuk penghormatan dan kepercayaan, Nabi Syu'aib menawarkan Musa untuk menikahi salah satu putrinya dengan syarat ia harus bekerja selama delapan atau sepuluh tahun sebagai mahar. Musa menerima tawaran itu.
Hari-hari di Madyan bukan sekadar pengasingan, tetapi juga sekolah kehidupan. Di sana, Musa belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang sabar, tangguh, dan bertanggung jawab.
Nabi Musa hidup sebagai penggembala, pekerjaan yang juga pernah dilakukan oleh para nabi sebelumnya. Menggembala bukan hanya tentang merawat hewan, tetapi juga tentang mengelola, melindungi, dan membimbing---sebuah persiapan untuk tugas kepemimpinan yang lebih besar di masa depan.
Penutup: Ujian adalah Jalan Menuju Kebesaran
Jika Musa tetap tinggal di istana Fir'aun, mungkin ia tak akan pernah menjadi nabi yang kita kenal hari ini. Ia harus melewati perjalanan panjang, kesalahan yang menyakitkan, pengasingan yang sunyi, dan kehidupan sederhana di Madyan untuk memahami arti sebenarnya dari kepemimpinan. Allah tidak pernah salah dalam menempatkan seseorang dalam suatu keadaan.
Begitulah kehidupan, terkadang kita merasa diuji dengan cobaan yang berat, seolah dunia sedang menjauh dari kita. Namun, bisa jadi itu adalah cara Allah mempersiapkan kita untuk sesuatu yang lebih besar. Musa adalah contoh nyata bahwa di balik setiap ujian, ada hikmah yang indah.
Maka, jika kita tengah berada dalam masa sulit, janganlah berputus asa. Mungkin, ini bukan hukuman, tetapi proses pembentukan diri untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Seperti Musa, yang pada akhirnya kembali ke Mesir, bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai seorang pemimpin dan nabi yang siap mengubah sejarah.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap kesulitan adalah bagian dari rencana-Nya. Allah tidak pernah membiarkan hambanya sendiri, selama ia tetap berpegang teguh kepada-Nya.
Teruslah berjalan, karena setiap langkah menuju kebaikan adalah bagian dari perjalanan besar yang Allah rancang untuk kita.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI