2. Rebranding untuk Citra Baru
Reputasi yang rusak tidak selalu berarti akhir dari segalanya. Dengan strategi rebranding yang tepat, citra buruk bisa diperbaiki. Banyak perusahaan yang sukses bangkit dari krisis dengan mengubah pendekatan pemasaran, memperbaiki komunikasi, dan menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu sosial yang relevan.
Seorang figur publik yang terkena cancel culture juga bisa melakukan hal serupa. Mereka bisa menunjukkan perubahan sikap, belajar dari kesalahan, dan membangun kembali hubungan dengan audiens melalui aksi nyata, bukan hanya pernyataan permintaan maaf yang kosong.
3. Mencari dan Membangun Audiens Baru
Ketika satu kelompok meninggalkan, selalu ada peluang untuk membangun basis pendukung baru. Switching culture memberikan kesempatan untuk mengarahkan komunikasi ke audiens yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang diperbarui.
Dalam banyak kasus, individu atau merek yang terkena cancel culture berhasil membangun pengikut baru dengan menciptakan narasi yang lebih segar dan autentik.
Misalnya, jika sebuah merek fesyen mengalami boikot dari pelanggan lama karena isu tertentu, mereka bisa memperluas pasar dengan menggandeng komunitas baru yang lebih mendukung misi dan visi mereka yang telah diperbarui.
4. Kolaborasi dengan Figur atau Merek Berpengaruh
Salah satu cara efektif untuk mengembalikan reputasi adalah dengan menjalin kolaborasi bersama pihak yang memiliki citra positif. Merek atau individu yang terkena cancel culture dapat menggandeng tokoh publik, influencer, atau komunitas yang dipercaya untuk membangun ulang kepercayaan publik.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan yang dikritik karena kurang inklusif bisa bermitra dengan organisasi sosial atau tokoh yang aktif dalam memperjuangkan kesetaraan. Langkah ini bukan sekadar strategi pemasaran, tetapi juga menunjukkan komitmen nyata dalam melakukan perubahan.
5. Transparansi dan Tanggung Jawab
Tidak ada strategi switching culture yang efektif tanpa transparansi dan akuntabilitas. Jika kesalahan memang terjadi, cara terbaik untuk keluar dari cancel culture adalah dengan mengakui kesalahan, meminta maaf dengan tulus, dan menunjukkan perbaikan nyata.
Audiens saat ini lebih menghargai mereka yang berani mengakui kesalahan dan mengambil langkah konkret untuk memperbaikinya daripada yang sekadar mengeluarkan pernyataan basa-basi. Oleh karena itu, setiap upaya perbaikan harus didukung dengan tindakan yang jelas dan dapat diukur.
Kesimpulan: Mengubah Krisis Menjadi Peluang
Cancel culture bisa menjadi ancaman serius bagi siapa pun, tetapi bukan berarti itu adalah akhir dari segalanya. Dengan memanfaatkan switching culture, individu dan bisnis dapat menyesuaikan diri dengan perubahan, berinovasi, dan membangun kembali kepercayaan publik.
Rebranding, diversifikasi audiens, kolaborasi dengan pihak yang memiliki reputasi baik, serta menunjukkan tanggung jawab dan transparansi adalah langkah-langkah penting dalam menghadapi badai cancel culture.
Dalam dunia yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi dan menemukan peluang dalam krisis adalah kunci untuk bertahan dan berkembang.
Jadi, alih-alih melihat cancel culture sebagai sesuatu yang menakutkan, jadikan itu sebagai batu loncatan untuk menjadi lebih baik dan lebih relevan di mata masyarakat.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI