Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Strategi Switching Culture Menghadapi Fenomena Cancel Culture

10 Februari 2025   21:07 Diperbarui: 12 Februari 2025   09:46 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyesuaikan Diri di Era Digital

Di era digital yang serba cepat, fenomena cancel culture telah menjadi senjata ampuh bagi masyarakat dalam memberikan sanksi sosial terhadap individu atau entitas yang dianggap melakukan kesalahan.

Tidak sedikit orang yang kehilangan reputasi, pelanggan, atau bahkan karier mereka akibat gelombang pembatalan dukungan yang masif. Namun, di tengah derasnya arus tersebut, ada konsep lain yang bisa menjadi solusi: switching culture.

Dengan memahami bagaimana switching culture dapat dimanfaatkan, individu dan perusahaan dapat mengubah tantangan menjadi peluang baru.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan ChatGPT.OpenAI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan ChatGPT.OpenAI

Cancel Culture vs Switching Culture

Cancel culture terjadi ketika publik memboikot atau mengabaikan seseorang atau suatu merek karena pernyataan, tindakan, atau kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial yang berkembang.

Sementara itu, switching culture mengacu pada fenomena ketika individu atau kelompok berpindah ke pilihan lain yang lebih mereka sukai, baik itu produk, layanan, komunitas, atau gagasan.

Dengan kata lain, cancel culture lebih bersifat reaktif dan cenderung menghukum, sementara switching culture lebih bersifat adaptif dan memberikan ruang bagi perubahan. Jika dikelola dengan baik, switching culture bisa menjadi strategi bertahan dari dampak negatif cancel culture.

Menghadapi Cancel Culture dengan Switching Culture

Cancel culture sering kali menciptakan tekanan besar bagi individu maupun merek. Mereka yang terkena dampaknya bisa merasa tersudut dan kehilangan kepercayaan dari publik. Namun, switching culture menawarkan cara untuk menghadapi tekanan ini dengan lebih strategis.

Alih-alih hanya bertahan dalam badai kritik, switching culture mengajarkan bagaimana seseorang atau perusahaan dapat beralih ke pendekatan baru yang lebih relevan dengan kondisi yang ada. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk keluar dari jeratan cancel culture melalui switching culture.

1. Beradaptasi dan Berinovasi

Daripada melawan gelombang cancel culture dengan defensif, lebih baik memanfaatkannya sebagai momen refleksi dan perbaikan.

Jika suatu merek atau individu terkena boikot, ini bisa menjadi kesempatan untuk memahami apa yang diinginkan audiens dan bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.

Misalnya, jika suatu perusahaan dikritik karena tidak ramah lingkungan, mereka bisa beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan dan memperkenalkan inisiatif hijau. Ini bukan hanya memperbaiki citra, tetapi juga menarik pelanggan baru yang lebih peduli terhadap lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun