Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mitigasi Burnout Syndrome dengan Meningkatkan Kesetaraan dan Inklusi

12 Januari 2023   05:08 Diperbarui: 12 Januari 2023   05:14 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuai dengan survei Gallup terakhir, ditemukan tiga dari sepuluh insan perusahaan merasa  sering diliputi kejenuhan dan selalu kelelahan (burnout syndrome). Di sisi lain, insan perusahaan yang merasa dihormati, 50% lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kejenuhan.

Masih banyak pemimpin dan manajer yang gagal memahami betapa pentingnya DEI (Diversity, Equity and Inclusion) bagi kesejahteraan dan produktivitas insan perusahaan di tempat kerja. Mereka sering tidak menyadari bahwa konsekuensi dari tidak menjadikan program keragaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) tersebut sangat luas terhadap terjadinya burnout.

Insan perusahaan yang mengalami burnout syndrome merasa "sangat sering" atau "selalu" kehabisan tenaga di tempat kerja. Dampaknya adalah setiap bulan, insan perusahaan memilih untuk keluar dari pekerjaannya karena kelelahan, stres, dan efek negatif pada kehidupan mereka. Kondisi tersebut berdampak bukan hanya pada perusahaan yang bersangkutan, tetapi mempengaruhi perkonomian global karena menambah hingga 322 miliar dolar yang dihabiskan untuk biaya turnover pekerja dan hilangnya produktivitas sebagai akibat dari fenomena burnout syndrome di kalangan insan perusahaan secara global. (Dari berbagai sumber)

Dengan terjadinya kondisi tersebut, berarti para eksekutif perusahaan harus bertindak sekarang untuk membangun budaya yang kuat dan inklusif serta praktik-praktik adil yang mendorong kesejahteraan insan perusahaan mereka.

Sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Gallup Center on Black Voices terhadap lebih dari 9.000 orang dewasa yang bekerja, menunjukkan bahwa cara pengusaha memperlakukan insan perusahaan adalah pembeda utama antara insan perusahaan yang memiliki tingkat engagement dan berkinerja tinggi dengan mereka yang kelelahan yang memiliki kemungkinan akan keluar dari perusahaan.

Untuk mengantisipasi dan memitigasi burnout syndrome di perusahaan, para eksekutif bisa memulai dengan hal-hal yang mendasar. Insan perusahaan yang diperlakukan dengan baik oleh organisasinya dan merasa dihargai serta dilibatkan cenderung tidak akan merasa lelah dan jenuh. Manajer dan eksekutif perusahaan tidak boleh menganggap hal tersebut sebagai pilihan, tetapi harus menganggapnya sebagai persyaratan.

Hal-hal mendasar yang harus dilakukan adalah:

1. Perlakukan semua insan perusahaan dengan hormat.

Norma umum dalam masyarakat, "perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan" juga seharusnya berlaku di tempat kerja. Manajer, pemimpin, dan rekan kerja harus memperlakukan semua orang dengan sopan dan hormat. Untuk itu, manajer dapat memimpin peningkatan kesejahteraan dengan meningkatkan budaya tim. Manajer juga bertindak sebagai panutan (role model) yang mendorong anggota tim untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat. Manajer juga bisa mengambil tanggung jawab untuk melindungi insan perusahaan dari pengalaman berbahaya, dan tidak menjadi sumbernya.

2. Menumbuhkan rasa inklusi.

Semua insan yang ada di perusahaan ingin merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi mereka. Keberadaan mereka dirasakan penting dan dimilik oleh organisasii. Ketika hal itu terjadi, maka insan perusahaan tidak terlalu rentan terhadap burnout.

Berdasarkan hasil survei Gallup, insan perusahaan yang diterima dan dihargai sebagai pribadi, 52% lebih kecil kemungkinannya untuk merasakan tingkat kelelahan yang tinggi. Demikian pula, insan perusahaan yang merasa seperti anggota tim yang berharga, 57% lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami burnout syndrome.

Oleh karena itu, manajer harus bisa mendorong inklusi dan rasa memiliki ketika menyertakan setiap anggota tim dalam percakapan, memberi mereka penghargaan atas kontribusi mereka, dan dengan tulus menanyakan bagaimana hari mereka berjalan. Hal tersebut terlihat sangat  sederhana, tetapi mempunyai daya ungkit yang sangat kuat.

3. Memberikan kesempatan yang adil kepada seluruh insan perusahaan.

Insan perusahaan jarang mengalami kejenuhan ketika mereka merasa diperlakukan secara adil dan memiliki akses yang adil terhadap peluang di organisasi mereka.

Insan perusahaan yang memiliki kesempatan yang sama untuk maju seperti insan lain di organisasinya, 43% lebih kecil kemungkinannya untuk merasa kelelahan. Insan perusahaan  yang memiliki kesempatan yang sama untuk maju ke manajemen senior dalam organisasinya, memiliki kemungkinan 30% lebih kecil untuk mengalami tingkat kejenuhan yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun