Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-2)

22 November 2022   06:52 Diperbarui: 22 November 2022   07:22 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanha Airku (dokpri)

Gustav semakin erat memeluk sambil terdengar lirih suaranya, "Morgen, du musst mein Zwilling sein, der mit Daddy verschwunden ist." Lalu dia melanjutkan kata-katanya, "aku baru saja menelpon Ibu, dan Ibu yakin kamu adalah anaknya dan saudara kembarku."

Aku berusaha tenang dan membawa Gustav duduk di sofa, "Calm down Gustav, stop crying," kataku penuh simpati. "Aku juga baru menelpon ibuku, dia meyakiniku bahwa aku anak Ibu bersama almarhum ayahku."

"Tidak mungkin Morgan, kau adalah saudara kembarku," suara Gustav agak meninggi sambil tetap terisak.

Melihat Gustav yang sedikit histeris, aku pun berusaha menenangkannya sambil berkata, "anggap saja aku saudaramu yang hilang, hingga saudara kembarmu yang sesungguhnya bertemu kembali."

"Baiklah jika begitu maumu Morgan, tetapi aku yakin dan akan aku buktikan bahwa kamu adalah saudara kembarku," tangisan Gustav mulai mereda dan ia pun menghapus air matanya.

Tiba-tiba sepasang suami istri separuh baya melintas di hadapan kami, dan sang Ibu berseru kepada suaminya dalam Bahasa Indonesia, "Pa, lihat anak kembar bule itu, mereka sangat mirip dan tampan." Dan, sang Ibu dengan ramahnya menyapa kami berdua. Gustav langsung menyambar, "Yes, this is Morgan my twin."

Sambil tersenyum aku sampaikan kepada mereka, "Gustav bercanda, dia adalah kolega kami dari Jerman, sementara saya dari Indonesia." Si Ibu pun membalas, 'mosok sih, kalian begitu miripnya." Sambil iseng aku bilang kepada si Ibu, "coba saja Ibu ajak dia berbahasa Indonesia jika benar dia saudara kembarku." Tentu saja, Gustav tak bisa menjawab rasa penasaran si Ibu itu.

Ketika sepasang suami istri separuh baya itu berlalu, Gustav kembali memelukku, dan berkata, "sekali lagi aku akan buktikan bahwa kamu adalah saudara kembarku, dan akan kubawa kamu ke Jerman menemui Ibu kita."

"Gustav, hari sudah larut, mari kita istirahat dulu. Besok pagi kita harus ke kantor lagi." Aku pun berdiri dan menuju lift. Gustav pun mengikuti. Gustav menuju lift di sayap bangunan yang lain. Kamar kami berbeda sayap bangunan.

Hari-hari selanjutnya, Gustav pun menempel kemana aku pergi. Saat istirahat pun kami makan siang bersama. Aku pun jadi kurang bergaul dengan yang lain seperti kebiasaanku selama ini karena Gustav yang selalu menempelku kemana aku pergi. Sebenarnya aku agak risih juga. Akan tetapi, aku juga tidak tega meninggalkannya sendirian, karena dia terlihat begitu bahagia jika bersamaku dan selalu berkata, "aku bahagia telah bertemu dengan Morgan saudara kembarku yang hilang."

Setiap pagi, Gustav sudah menungguku di lobby hotel untuk sarapan bersama dan setelah itu langsung berangkat ke kantor bersama. Hotel kami tidak jauh dari kantor, sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Gustav selalu bercerita banyak saat kami berdua, di luar jam kerja. Dia bercerita bahwa Ayah dan Ibunya bercerai saat dia dan saudara kembarnya belum genap berumur setahun. Ayahnya seorang dokter yang mengajar di Fakultas Kedokteran dan selalu sibuk. Ibunya merasa kesepian, tetapi Ayahnya tidak peduli, hingga akhirnya mereka bercerai dan masing-masing membawa  satu anak.

Setelah bercerai, Ibu Gustav meninggalkan Heidelberg, kota tempat Ayahnya menjadi dokter sekaligus dosen, kembali ke Stuttgart, kota asal ibunya. Dua tahun setelah bercerai, ibunya menikah lagi dengan seorang manajer pabrik mobil di kotanya. Ketika Gustav, berumur 5 tahun, lahirlah adiknya seorang perempuan, yang masih kuliah dan sebentar lagi akan jadi dokter.

Entah mengapa setiap Gustav bercerita tentang Ibunya, hatiku ikut bergetar. Jangan-jangan yang diceritakan Gustav benar. Tetapi, aku lebih yakin dengan ibuku yang sejak aku kenal dunia yang aku tahu ibuku hanya dia. Ibu yang setia, meskipun pada usia lima tahun aku telah kehilangan Ayah, tetapi Ibu tidak pernah menikah lagi demi aku.

Gustav bilang nama saudara kembarnya adalah Morgan Nicolaus Ehrlichmann, sementara dia sendiri bernama Gustav Nicolaus Ehrlichmann. Nama ku yang ada dalam surat keterangan Akte Kelahiranku adalah "Margano Jatmiko Rachman anak dari seorang perempuan Sundari Sunarko hasil pernikahan dengan Jatmiko Rachman." Tempat kelahiranku di Jakarta, sementara Gustav lahir Heidelberg.

Menurut ibuku, dia bertemu almarhum Ayah ketika kuliah di Heidelberg. Ayah sudah lebih dulu jadi dokter di Jerman. Ketika Ibu lulus, Indonesia sedang bergejolak, sehingga dia tidak bisa pulang ke Indonesia dan bekerja di Jerman bersama Ayah. Ibu baru pulang ke Indonesia bersama Ayah setelah kondisi keamanan Indonesia mulai kondusif. Ayah bekerja sebagai dokter sukarelawan membantu penanggulangan malaria yang menyerang berbagai pelosok negeri Indonesia.

Menurut cerita Ibu, sejak kemerdekaan Indonesia, malaria merupakan penyakit yang menakutkan, hingga datang bantuan USAID yang menekan angka kematian karena malaria pada tahun 1959. Akan tetapi, tahun 1964 pemerintah memutuskan banyak kerjasama dengan Amerika termasuk penaggulangan malaria yang sudah jauh menurun dari sebelumnya.

Ketika pemerintah berganti, dokter-dokter Indonesia yang dulu disekolahkan pemerintah diminta pulang dan pemerintah juga merekrut banyak dokter asing untuk penanggulangan malaria. Dan, ibu beserta Ayah pun pulang ke Indonesia. Selanjutnya Ayah menjadi dokter sukarelawan yang bertugas menanggulangi malaria di berbagai pelosok negeri, hingga akhirnya Ayah pun ikut terkena malaria ketika sedang bertugas di Jawa Tengah, dan meninggal setelah sempat dibawa ke Jakarta. Sementara Ibu bertugas di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta.

Mendengarkan cerita-cerita Gustav, secara tidak sadar aku pun mulai membandingkan dan mencocokkan ceritanya dengan cerita ibuku. Gustav dilahirkan satu tahun lebih dahulu dibandingkan aku, berdasarkan surat keterangan kelahiran yang kupegang. Nama Ayah Gustav adalah Nicolaus Ehrlichmann, sementara nama ayahku adalah Jatmiko Rachman. Gustav seorang Nasrani, sementara aku seorang Muslim. Gustav dan ayahnya berkewarganegaraan Jerman, sementara aku dan ayahku warganegara Indonesia.

Saat itu, HP belum familiar, yang ada baru mobilephone yang besar dan biasanya dibawa di mobil. Sehingga jika sedang berada di luar negeri, kita harus menelpon ke kantor telepon. Jika minta disambungkan telepon internasional pada operator hotel, biayanya sangat mahal. Aku ingin sekali bercerita banyak dengan ibuku tentang hal itu, tetapi tidak mungkin bicara berlama-lama di telepon. Aku pikir, setelah aku kembali ke Indonesia dalam tugas yang hanya sebulan ini, aku akan bertanya dan bercerita banyak dengan ibuku.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun