Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Agile Culture Transformation, Kiat Bertahan di Masa Krisis Covid-19

7 November 2020   04:44 Diperbarui: 7 November 2020   04:50 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Organisasi yang memiliki budaya gesit (Agile Culture) dirancang untuk menjadi cepat, tangguh, dan mudah beradaptasi. Secara teori, organisasi yang menggunakan praktik budaya gesit sangat cocok untuk menanggapi guncangan seperti pandemi Covid-19. Memahami pengalaman perusahaan yang gesit --- atau sebagian gesit --- selama krisis memberikan wawasan tentang elemen mana dari model operasi mereka yang terbukti paling berguna dalam praktik di lapangan.

Sesuai penelitian Mc Kinsey, satu karakteristik menonjol pada perusahaan yang mengungguli kompetitor mereka adalah perusahaan yang berperingkat lebih tinggi dalam mengelola dampak krisis Covid-19, juga merupakan perusahaan dengan praktik gesit yang tertanam menjadi budaya pada model operasi perusahaan mereka. Artinya, mereka adalah organisasi gesit yang matang dan telah menerapkan perubahan paling ekstensif pada proses di seluruh perusahaan sebelum pandemi.

McKinsey menganalisis 25 perusahaan dari berbagai belahan dunia pada tujuh sektor yang telah atau sedang menjalani transformasi budaya gesit. Dari hasil analisis ditemukan bahwa hampir semua unit bisnis gesit perusahaan-perusahaan tersebut merespon lebih baik daripada unit yang tidak gesit di perusahaan mereka terhadap guncangan yang terkait dengan pandemi Covid-19 dengan mengukur kepuasan pelanggan, keterlibatan insan perusahaan, atau kinerja operasional.

Unit kerja yang gesit telah melanjutkan pekerjaan mereka hampir tanpa hambatan setelah guncangan, tanpa kemunduran substansial dalam produktivitas. Sebaliknya, banyak unit kerja yang tidak gesit berjuang untuk melakukan transisi, memprioritaskan ulang pekerjaan mereka, dan menjadi produktif dalam pengaturan jarak jauh yang baru. Penyelarasan antara unit kerja yang gesit dan prioritas bisnis mereka memungkinkan perusahaan untuk mengubah fokus dengan cepat.

Sebagai contoh, SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), memprioritaskan ulang sekitar 20 persen pekerjaannya sebagai financial messaging network, melalui unit kerja yang gesit, berkontribusi dengan segera menyesuaikan dengan prioritas yang diperbarui. Anggota tim unit kerja mengetahui tujuan bisnis mereka dan memiliki alasan yang canggih untuk masing-masingnya. Hal ini memungkinkan perusahaan memprioritaskan ulang pekerjaan mereka dalam beberapa hari menghadapi perubahan saat pandemi Covid-19 tiba-tiba melanda dunia.

Reprioritization (membuat prioritas ulang) datang secara alami ke perusahaan yang gesit. Mereka melakukannya dengan menanamkan sentrisitas pelanggan dalam proses perusahaan, menunda dan memberdayakan organisasi, serta menyatukan bisnis dan TI. Misalnya, sebuah perusahaan telekomunikasi Asia harus menutup pusat panggilan lepas pantai ketika situasi Covid-19 dimulai, yang mengakibatkan antrean pengiriman pesan meningkat menjadi rata-rata 36 jam waktu tunggu. 

Sebagai reaksi, manajer meminta staf retail untuk mendukung fungsi call-center, mendirikan microsites di lokasi lepas pantai untuk membuka kembali call center, dan mengaktifkan akses chatbot (robot virtual yang dapat mesimulasikan percakapan layaknya manusia) untuk semua pelanggan mereka. 

Dalam sebulan, antrean turun kembali menjadi hanya beberapa menit. Dalam keadaan normal sebelum pandemi Covid-19, reaksi seperti itu dapat memakan waktu enam bulan dengan cara kerja yang lama. Sekarang, sumber daya dapat dialokasikan kembali dengan cepat, memungkinkan tim untuk mengalihkan fokus dan mengirimkan prototipe digital dalam beberapa hari.

McKinsey, mengukur waktu yang dibutuhkan 36 penyedia telekomunikasi di 11 negara Asia dan Eropa untuk meluncurkan layanan sebagai tanggapan terhadap pandemi Covid-19, seperti menyediakan data atau bandwidth tambahan. Hasil penelitian McKinsey mengkonfirmasi bahwa operator telekomunikasi yang mengadopsi model operasi gesit sebelum pandemi merespon secara signifikan lebih cepat, rata-rata, daripada kompetitor mereka. Tren serupa juga dialami oleh dunia perbankan untuk meluncurkan layanan sebagai respon terhadap krisis Covid-19.

Di Indonesia, transformasi budaya gesit juga dilakukan  oleh BRI dalam menghadapi The New Normal akibat pandemi Covid-19 melalui strategi yang terbagi menjadi tiga hal utama, yaitu terkait pekerja dan jaringan, teknologi informasi (IT) dan digital, serta bisnis proses.

Hal pertama, terkait dengan pekerja dan jaringan, BRI menerapkan flexy working, perubahan fungsi, dan peran jaringan kantor BRI, coworking space, dan penerapan protokol kesehatan di seluruh kantor BRI. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun