Mohon tunggu...
Merie Barus
Merie Barus Mohon Tunggu... Mengajar

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

TDK-6: Epilog

20 September 2025   12:43 Diperbarui: 20 September 2025   12:43 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Senja yang Tenang

Sebulan telah berlalu sejak hari di mana kami memakamkan kembali Tima dan Loma. Langit Kutambaru masih sama, kabut masih turun dari perbukitan setiap pagi, dan suara sungai di bawah Titi Dorek masih terdengar seperti bisikan abadi. Namun, sesuatu telah berubah. Udara terasa lebih ringan. Kisah kelam yang menyelimuti kampung kami selama sepuluh tahun akhirnya menemukan titik terang, meski cahayanya redup dan penuh kesedihan.

Besok aku akan kembali ke Medan. Tugasku di sini telah selesai. Sebelum pergi, ada dua tempat yang harus kukunjungi untuk terakhir kalinya.

Pertama, rumah Bibi Suri.

Aku menemukannya sedang menyapu teras depan. Ia tidak lagi duduk di kursi dengan tatapan kosong. Ia bergerak perlahan, ringkih, tapi ada tujuan dalam setiap gerakannya. Saat melihatku, ia tersenyum---sebuah senyum tulus pertama yang kulihat darinya setelah sekian lama.

"Mau pulang kau besok?" tanyanya, suaranya masih serak tapi tidak lagi linglung.

Aku mengangguk. "Iya, Bi. Ada yang harus kuurus di kota."

Kami duduk di teras itu, tempat di mana aku pernah merasakan keputusasaannya yang paling dalam. Setelah keheningan yang nyaman, aku memberanikan diri. Aku menceritakan padanya apa yang kulihat dalam "penglihatan"-ku malam itu. Aku menceritakan bagaimana Loma tidak pernah lari. Bagaimana ia kembali, berjuang menuruni jurang, dan memilih untuk menemani adiknya di saat-saat terakhir. Aku menceritakan tentang ikatan uis nipes itu sebagai simbol pengorbanan, bukan kutukan.

Bibi Suri mendengarkan tanpa menyela. Air mata mengalir di pipinya yang tirus, tapi kali ini bukan air mata kebingungan. Itu adalah air mata duka yang bercampur dengan kebanggaan seorang ibu.

"Loma selalu menjadi abang yang baik untuk adiknya."

Ia menemukan kedamaian dalam kebenaran itu. Mengetahui putranya adalah seorang pahlawan dalam tragedinya sendiri sudah cukup baginya. Cerita di kampung mungkin akan selalu simpang siur, tapi ia kini memegang versi cerita yang akan menemaninya hingga akhir hayat.

Setelah berpamitan, aku melanjutkan perjalananku ke tempat kedua. Pemakaman.

Aku berhenti di depan dua makam yang kini sudah ditumbuhi rumput tipis. Tima dan Loma. Akhirnya berdampingan dalam damai. Aku duduk di antara mereka, membiarkan angin sore membelai wajahku. Dan di sanalah, di keheningan itu, kepingan-kepingan kenangan yang selama ini terkunci rapat mulai kembali.

Aku teringat Tima saat kami baru masuk SMP. Tawa riangnya yang tiba-tiba sering terdiam setiap kali Loma, abangnya, masuk ke ruangan. Aku ingat bagaimana ia "tidak sengaja" menyenggolkan lengannya ke lengan Loma saat makan bersama, mencari alasan apa pun untuk berada di dekatnya. Saat itu, aku hanya menganggapnya manja. Sekarang, aku melihatnya sebagai benih dari sebuah perasaan yang tak seharusnya tumbuh.

Lalu aku teringat suatu sore, setahun sebelum tragedi itu. Kami duduk di tepi sawah, dan aku bertanya terus terang padanya. "Kau suka pada Bang Loma, ya? Suka sebagai laki-laki?"

Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena marah. 

"Jaga mulutmu!" bentaknya, matanya berkaca-kaca. 

"Dia abangku! Tentu saja aku sayang padanya!" 

Ia mengucapkannya dengan penekanan yang terlalu keras, sebuah penyangkalan yang justru menjadi pengakuan paling jujur.

Dan kenangan yang paling menyakitkan pun muncul. Beberapa minggu sebelum ia meninggal, setelah pertengkaran hebat dengan ibunya, aku membuntutinya diam-diam. Ia tidak pulang. Ia pergi ke makam ayahnya. Di sana, di depan nisan yang dingin itu, aku mendengarnya bersumpah sambil terisak.

"Bapak, Tima janji... Tima tidak akan menikah jika bukan dengan Bang Loma. Tima tidak akan punya anak jika ayahnya bukan dia. Jika tidak bisa, lebih baik Tima menyusul Bapak saja."

Sumpah seorang anak yang putus asa, yang hatinya telah salah memilih pelabuhan.

Aku membuka mata, kembali di masa kini. Air mataku sudah mengering di pipi. Semua kepingan itu kini menyatu. Perasaan Tima yang begitu kuat dan absolut, yang ia anggap sebagai cinta sejati, telah menjadi obsesi yang membutakannya. Ia tidak bisa melihat jalan keluar lain.

Dan Loma... Loma yang pendiam mungkin melihatnya, tapi tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Ia hanya bisa menjadi seorang abang, menjaga dalam diam, sampai akhirnya ia melakukan tugas terakhir seorang abang: memastikan adiknya tidak sendirian saat menghadapi akhir.

Kini, aku benar-benar mengerti.

"Kuulihi pagi ateku ngena"

Tima tidak kembali dengan cinta obsesifnya. Ia kembali dalam sebuah cerita tentang cinta yang lain. Cinta pengorbanan Loma. Di dalam kematian, ia akhirnya menemukan bentuk cinta yang paling murni dan tanpa syarat, yang selama ini selalu ada untuknya tapi tak pernah ia sadari.

Matahari mulai terbenam, mewarnai langit Kutambaru dengan gradasi jingga dan ungu. Senja yang tenang. Aku berdiri dan mengelus kedua nisan itu untuk terakhir kalinya.

"Selamat tinggal, Tima. Selamat tinggal, Loma," bisikku. "Kisah kalian sudah selesai."

Aku berjalan meninggalkan pemakaman. Dari kejauhan, aku bisa melihat siluet Titi Dorek yang gagah di cakrawala. Jembatan itu tidak lagi terlihat mengerikan. Ia kini tampak seperti sebuah monumen. 

Bukan monumen dosa, tapi monumen dari sebuah cinta yang rumit, cinta yang salah, dan cinta yang pada akhirnya, menemukan jalannya sendiri untuk menjadi abadi.

Kemampuanku masih ada, aku masih bisa merasakan bisikan-bisikan dari dunia lain. Tapi kini, aku tidak lagi bangga ataupun takut. Aku hanya mengerti. Bahwa di setiap kehadiran mereka, selalu ada sebuah cerita yang menunggu untuk didengarkan, sebuah luka yang menunggu untuk disembuhkan. Dan terkadang, menjadi pendengar adalah satu-satunya cara untuk membawa kedamaian, baik bagi mereka, maupun bagi kita yang masih hidup.

Selesai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun