Aku membuka mata, kembali di masa kini. Air mataku sudah mengering di pipi. Semua kepingan itu kini menyatu. Perasaan Tima yang begitu kuat dan absolut, yang ia anggap sebagai cinta sejati, telah menjadi obsesi yang membutakannya. Ia tidak bisa melihat jalan keluar lain.
Dan Loma... Loma yang pendiam mungkin melihatnya, tapi tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Ia hanya bisa menjadi seorang abang, menjaga dalam diam, sampai akhirnya ia melakukan tugas terakhir seorang abang: memastikan adiknya tidak sendirian saat menghadapi akhir.
Kini, aku benar-benar mengerti.
"Kuulihi pagi ateku ngena"
Tima tidak kembali dengan cinta obsesifnya. Ia kembali dalam sebuah cerita tentang cinta yang lain. Cinta pengorbanan Loma. Di dalam kematian, ia akhirnya menemukan bentuk cinta yang paling murni dan tanpa syarat, yang selama ini selalu ada untuknya tapi tak pernah ia sadari.
Matahari mulai terbenam, mewarnai langit Kutambaru dengan gradasi jingga dan ungu. Senja yang tenang. Aku berdiri dan mengelus kedua nisan itu untuk terakhir kalinya.
"Selamat tinggal, Tima. Selamat tinggal, Loma," bisikku. "Kisah kalian sudah selesai."
Aku berjalan meninggalkan pemakaman. Dari kejauhan, aku bisa melihat siluet Titi Dorek yang gagah di cakrawala. Jembatan itu tidak lagi terlihat mengerikan. Ia kini tampak seperti sebuah monumen.Â
Bukan monumen dosa, tapi monumen dari sebuah cinta yang rumit, cinta yang salah, dan cinta yang pada akhirnya, menemukan jalannya sendiri untuk menjadi abadi.
Kemampuanku masih ada, aku masih bisa merasakan bisikan-bisikan dari dunia lain. Tapi kini, aku tidak lagi bangga ataupun takut. Aku hanya mengerti. Bahwa di setiap kehadiran mereka, selalu ada sebuah cerita yang menunggu untuk didengarkan, sebuah luka yang menunggu untuk disembuhkan. Dan terkadang, menjadi pendengar adalah satu-satunya cara untuk membawa kedamaian, baik bagi mereka, maupun bagi kita yang masih hidup.
Selesai.