Setelah berpamitan, aku melanjutkan perjalananku ke tempat kedua. Pemakaman.
Aku berhenti di depan dua makam yang kini sudah ditumbuhi rumput tipis. Tima dan Loma. Akhirnya berdampingan dalam damai. Aku duduk di antara mereka, membiarkan angin sore membelai wajahku. Dan di sanalah, di keheningan itu, kepingan-kepingan kenangan yang selama ini terkunci rapat mulai kembali.
Aku teringat Tima saat kami baru masuk SMP. Tawa riangnya yang tiba-tiba sering terdiam setiap kali Loma, abangnya, masuk ke ruangan. Aku ingat bagaimana ia "tidak sengaja" menyenggolkan lengannya ke lengan Loma saat makan bersama, mencari alasan apa pun untuk berada di dekatnya. Saat itu, aku hanya menganggapnya manja. Sekarang, aku melihatnya sebagai benih dari sebuah perasaan yang tak seharusnya tumbuh.
Lalu aku teringat suatu sore, setahun sebelum tragedi itu. Kami duduk di tepi sawah, dan aku bertanya terus terang padanya. "Kau suka pada Bang Loma, ya? Suka sebagai laki-laki?"
Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena marah.Â
"Jaga mulutmu!" bentaknya, matanya berkaca-kaca.Â
"Dia abangku! Tentu saja aku sayang padanya!"Â
Ia mengucapkannya dengan penekanan yang terlalu keras, sebuah penyangkalan yang justru menjadi pengakuan paling jujur.
Dan kenangan yang paling menyakitkan pun muncul. Beberapa minggu sebelum ia meninggal, setelah pertengkaran hebat dengan ibunya, aku membuntutinya diam-diam. Ia tidak pulang. Ia pergi ke makam ayahnya. Di sana, di depan nisan yang dingin itu, aku mendengarnya bersumpah sambil terisak.
"Bapak, Tima janji... Tima tidak akan menikah jika bukan dengan Bang Loma. Tima tidak akan punya anak jika ayahnya bukan dia. Jika tidak bisa, lebih baik Tima menyusul Bapak saja."
Sumpah seorang anak yang putus asa, yang hatinya telah salah memilih pelabuhan.