Pengantar
Hening di ruang sidang itu pecah oleh helaan napas seorang dosen penguji. Jarinya menunjuk tumpukan kertas di hadapan mahasiswa yang tertunduk.Â
"Riset Anda sebenarnya menarik, tapi cara Anda menuliskannya kacau. Argumentasinya melompat-lompat, bahasanya tidak efektif. Ini belum bisa disebut karya ilmiah."
Pemandangan ini, dengan berbagai variasinya, adalah sebuah drama yang dipentaskan berulang kali saat sidang meja hijau oleh mahasiswa di pendidikan tinggi. Ia menjadi penanda sebuah masalah menahun yang seolah tak kunjung usai. Lantas, sebuah pertanyaan pun tak terhindarkan lagi, sering kali bergaung di benak kita semua: Menulis skripsi salah, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab?
Mudah sekali menunjuk hidung. Entah itu mahasiswa yang dianggap kurang berusaha, atau dosen pembimbing yang dinilai lalai. Namun, setelah bertahun-tahun mengamati fenomena ini, saya sampai pada sebuah kesimpulan: menyalahkan individu adalah cara termudah untuk lari dari kenyataan yang jauh lebih pahit. Ini bukanlah kegagalan perorangan, melainkan gejala dari retakan sistemik dalam ekosistem pendidikan kita.
FaktanyaÂ
Apa yang kita lihat di ruang sidang hanyalah puncak dari gunung es. Di bawah permukaan, masalahnya jauh lebih dalam. Seorang dosen penguji pernah berkeluh kesah kepada saya, "Seringkali, masalahnya bukan pada risetnya yang kurang baik, tetapi pada ketidakmampuannya mengartikulasikan temuan itu secara logis dalam tulisan."
Keluhan ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan observasi informal, lebih dari separuh mahasiswa semester akhir masih berjuang dengan hal-hal fundamental seperti melakukan parafrasa yang etis, menyusun sitasi yang benar, atau sekadar membangun satu paragraf yang koheren.Â
Seorang mahasiswa bahkan pernah berkata, "Jujur, Bu, kami baru benar-benar merasakan tekanan untuk menulis dengan benar saat mengerjakan skripsi. Sebelumnya, tugas-tugas lain tidak terlalu menekankan hal itu."
Pengakuan ini adalah sebuah alarm. Ia menandakan bahwa masalahnya tidak instan, melainkan hasil dari sebuah perjalanan panjang yang penuh kelalaian.
Retakan Sistemik yang Tak Terlihat
Untuk memahami mengapa "penyakit" ini begitu kronis, kita perlu melihat tiga retakan utama dalam fondasi pendidikan kita:
- Kurikulum yang Terfragmentasi: Bayangkan setiap mata kuliah adalah sebuah gerbong kereta yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa sambungan. Itulah yang sering terjadi. Kemampuan menulis ilmiah hanya "diajarkan" secara serius di gerbong paling depan, yaitu mata kuliah Bahasa Indonesia di semester awal. Setelah itu, gerbong-gerbong berikutnya fokus pada muatan ilmunya masing-masing, dan lupa untuk memastikan semua penumpang masih memegang tiket yang sama: tiket kemampuan menulis yang baik. Ada "jembatan" yang hilang antara semester satu dan semester akhir.
- Defisit Literasi Bawaan: Mahasiswa tidak datang sebagai kertas kosong. Mereka adalah produk sistem pendidikan dasar dan menengah yang mungkin lebih melatih mereka untuk menghafal daripada bernalar. Kemampuan membaca-kritis dan menulis-argumentatif adalah otot yang jarang dilatih. Akibatnya, mereka memasuki universitas dengan "kebugaran literasi" yang rendah.
- Disrupsi Digital: Di era informasi instan, mahasiswa terbiasa "mengudap" pengetahuan dari video pendek atau infografis. Kemampuan untuk "mencerna hidangan utama" dari jurnal ilmiah atau buku referensi yang padat menjadi sebuah tantangan. Mereka tahu cara mencari informasi, tetapi sering kali gagap saat harus meramunya menjadi sebuah argumen orisinal.
Studi Kasus: Dilema Dosen MKU Bahasa Indonesia
Posisi Dosen MKU Bahasa Indonesia adalah ilustrasi sempurna dari tragedi sistemik ini. Kami diposisikan sebagai arsitek fondasi di semester pertama. Dalam waktu yang sangat terbatas, kami harus membangun segalanya: struktur logika, kaidah bahasa, hingga etika akademik. Namun, setelah fondasi itu selesai dibangun, kami diminta pergi.
Selama dua hingga tiga tahun berikutnya, fondasi itu dibiarkan kosong, terpapar hujan dan panas tanpa ada yang membangun pilar atau dinding di atasnya. Lalu, ketika tiba waktunya membangun atap (skripsi) dan bangunan itu ternyata rapuh, orang-orang pun menoleh ke belakang dan bertanya, "Siapa dulu yang mengajarkan mata kuliah Bahasa Indonesia?" Inilah fenomena yang kami sebut atrofi keterampilan (skill atrophy)---kemampuan yang hilang karena tidak pernah diasah.
Solusi
Mengeluh tidak akan mengubah apa pun. Sudah saatnya kita bergerak menuju solusi kolaboratif. Beberapa institusi di dunia telah menunjukkan jalannya:
- Mengadopsi Model "Writing Across the Curriculum" (WAC): Ini adalah sebuah pendekatan di mana kemampuan menulis tidak lagi menjadi monopoli dosen Bahasa Indonesia. Setiap dosen, di setiap mata kuliah, ikut bertanggung jawab. Tugas membuat laporan praktikum di lab, esai studi kasus di kelas manajemen, atau analisis hukum di fakultas hukum, semuanya harus dinilai tidak hanya dari isinya, tetapi juga dari kualitas tulisannya.
- Membentuk "Pusat Penulisan Akademik" (Academic Writing Center): Sebuah unit khusus yang menjadi "klinik" bagi mahasiswa. Di sini, mereka bisa berkonsultasi, mengikuti lokakarya, dan mendapatkan bimbingan intensif untuk mengasah keterampilan menulis mereka, kapan pun mereka butuhkan.
Penutup
Ini bukan sekadar urusan selembar ijazah. Lulusan yang tidak mampu mengartikulasikan gagasannya secara tertulis akan terseok-seok di dunia kerja. Mereka akan kesulitan menyusun proposal proyek, laporan analisis, atau bahkan sekadar email profesional. Keluhan dari dunia industri tentang lemahnya soft skill lulusan baru sering kali berakar dari sini.
Lebih jauh lagi, ini adalah soal daya saing bangsa. Bagaimana kita bisa berharap menghasilkan riset dan inovasi kelas dunia jika para calon ilmuwan dan profesional kita tidak terampil dalam "bahasa" ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu tulisan?
Pada akhirnya, skripsi yang baik bukanlah produk dari kehebatan satu orang mahasiswa atau dosen, melainkan cerminan dari kesehatan sebuah ekosistem akademik. Sudah waktunya kita berhenti mencari siapa yang salah, dan mulai bekerja bersama untuk memperbaiki apa yang salah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI