Tapi lama-kelamaan, hal ini bisa jadi kebiasaan yang cukup baik karena kita jadi peka atas apa yang sudah kita lakukan, kita akan terbiasa merenung dan ga mudah egois dalam kehidupan sosial.Â
Dan hal yang perlu diingat juga, cara manusia berdialog dengan hatinya bisa saja berbeda-beda, mengingat manusia itu sendiri sudah berbeda satu sama lainnya.
Individual differences, konsep yang mungkin sering kita lupa, sampai-sampai kita sering berusaha untuk mendapati posisi serupa dengan orang lain, sebuah konsep yang mungkin kita lupa, sampai tak sadar kita memiliki batu permata yang belum kita poles karena terlalu sibuk mengagumi keindahan permata lainnya.
Inti dari berdialog dengan hati lebih kepada proses menemukan kebenaran. Pernah dengar istilah hati nurani, kan? Mungkin, mirip seperti itu karena hati hampir tidak pernah salah, biasanya ia membisikkan kebenaran, dan kepekaan menerima kebenaran itu juga butuh dilatih secara rutin.Â
Meski begitu, menurutku berdialog dengan hati cukup beresiko karena ketika hal itu dilakukan secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif pada kondisi psikologis, seperti mudah cemas, stres yang berlebihan, gelisah, bahkan menyalahkan diri sendiri.
Sekadar saran, sesuaikan dengan kemampuan kognitif dan kebiasaan saat mengambil keputusan, misal... kita tipikal orang yang butuh diskusi untuk mengambil keputusan, berarti kita perlu open mind dan ga kaku terhadap pendapat yang kita terima.Â
Mungkin akan lebih aman jika 'berdialog dengan hati' ini kita konsultasikan kepada yang memahami kondisi diri kita (setelah mendapatkan insight, mengkomunikasikan penemuan dari dialog tadi), dan ketika sudah menunjukkan ke arah yang kurang baik (seperti ada gejala stres yang berkepanjangan, menimbulkan kegelisahan yang berlebihan), bisa jadi hal itu adalah sinyal untuk kita agar mengkonsultasikannya kepada profesional (psikolog atau psikiater).Â
Hmm, sepertinya menjaga hati itu gampang-gampang susah ya? Di satu sisi kita jadi lebih peka, di sisi lain kita perlu hati-hati agar ga melebihi batas.Â