Mohon tunggu...
Nurlita Wijayanti
Nurlita Wijayanti Mohon Tunggu... Penulis - Menurlita

Lulusan Psikologi yang antusias pada isu kesehatan mental. Wordpress: https://sudutruangruang.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Berdialog dengan Hati, Sulitkah?

14 Juni 2019   20:29 Diperbarui: 15 Juni 2019   14:40 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Ryan Tang on Unsplash

Pernah ga? Saat kita merasa... ga ada satu orang pun yang bisa diajak berbagi lagi, kemudian kita mencoba berdialog dengan diri sendiri.

Ya. Berdialog. Bukan monolog.

Berdialog dengan hati yang entah, sudah berapa lama tak pernah kita sapa lagi. Sampai kita ga tau secara pasti, apakah hati kita masih sehat-sehat saja atau sedang sakit. Coba kita imajinasikan, itu pun kalau kamu bersedia. Aku coba berikan satu contoh dialog dengan hati:

Ga setiap orang bisa mengerti dan memahami keadaanmu. Jika di masa lalu ada orang-orang yang tidak mempedulikan kelemahanmu, tidak peduli apakah mereka dianggap olehmu, atau mereka yang terima apa adanya dirimu sejak pandangan pertama, jangan terlalu banyak berharap di masa kini atau masa depan kamu akan menemukan orang-orang seperti mereka.

Bukan berarti orang-orang seperti mereka tidak akan pernah ada lagi di lingkungan barumu, tapi menaruh harap berlebihan pada orang lain akan membuatmu kerepotan, apalagi kalau kamu punya riwayat tidak menyenangkan dengan "harapan" atau bahasa lainnya "ekspektasi." 

Bagaimana cara melepaskan ekspektasi ini?

Tanyakan pada diri sendiri, apakah yang kamu harapkan dari mereka?

Apakah dengan menaruh harapan pada manusia secara berlebihan lantas membuat hidupmu merasa tenang dan aman? Atau jangan-jangan ada ketakutan yang selama ini tak kau sadari?

Bertanyalah ke dalam diri secara jujur, meski pahit, itu adalah titik awal untukmu menjadi diri sendiri, yang paling menguatkanmu setelah Tuhan. 

***
Gimana? Ini contoh dialog saat saya mulai lelah dengan konsep ekspektasi terhadap manusia. Dengan terbatasnya pemahaman tentang manusia, saya mencoba menggali keinginan terdalam saya, yang dianggap sebagai akar dari permasalahan, karena masalah saat itu terkait dengan ekspektasi.

Pengalaman pertama tak mudah. Rasanya perih sekali untuk jujur karena diri sendiri ingin menjadi manusia yang baik-baik saja, dan menyadari ternyata hati sedang tak baik-baik saja ternyata sangat tidak mengenakan.

Tapi lama-kelamaan, hal ini bisa jadi kebiasaan yang cukup baik karena kita jadi peka atas apa yang sudah kita lakukan, kita akan terbiasa merenung dan ga mudah egois dalam kehidupan sosial. 

Photo by Giulia Bertelli on Unsplash
Photo by Giulia Bertelli on Unsplash
Dan hal yang perlu diingat juga, cara manusia berdialog dengan hatinya bisa saja berbeda-beda, mengingat manusia itu sendiri sudah berbeda satu sama lainnya.

Individual differences, konsep yang mungkin sering kita lupa, sampai-sampai kita sering berusaha untuk mendapati posisi serupa dengan orang lain, sebuah konsep yang mungkin kita lupa, sampai tak sadar kita memiliki batu permata yang belum kita poles karena terlalu sibuk mengagumi keindahan permata lainnya.

Inti dari berdialog dengan hati lebih kepada proses menemukan kebenaran. Pernah dengar istilah hati nurani, kan? Mungkin, mirip seperti itu karena hati hampir tidak pernah salah, biasanya ia membisikkan kebenaran, dan kepekaan menerima kebenaran itu juga butuh dilatih secara rutin. 

Meski begitu, menurutku berdialog dengan hati cukup beresiko karena ketika hal itu dilakukan secara berlebihan akan menimbulkan dampak negatif pada kondisi psikologis, seperti mudah cemas, stres yang berlebihan, gelisah, bahkan menyalahkan diri sendiri.

Sekadar saran, sesuaikan dengan kemampuan kognitif dan kebiasaan saat mengambil keputusan, misal... kita tipikal orang yang butuh diskusi untuk mengambil keputusan, berarti kita perlu open mind dan ga kaku terhadap pendapat yang kita terima. 

Mungkin akan lebih aman jika 'berdialog dengan hati' ini kita konsultasikan kepada yang memahami kondisi diri kita (setelah mendapatkan insight, mengkomunikasikan penemuan dari dialog tadi), dan ketika sudah menunjukkan ke arah yang kurang baik (seperti ada gejala stres yang berkepanjangan, menimbulkan kegelisahan yang berlebihan), bisa jadi hal itu adalah sinyal untuk kita agar mengkonsultasikannya kepada profesional (psikolog atau psikiater). 

Hmm, sepertinya menjaga hati itu gampang-gampang susah ya? Di satu sisi kita jadi lebih peka, di sisi lain kita perlu hati-hati agar ga melebihi batas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun