Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Post Truth" dan Potensi Konflik di Papua

13 Januari 2022   09:23 Diperbarui: 13 Januari 2022   09:32 1645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang suku di Wamena. Sumber: berita satu.com

Melihat fenomena yang akhir-akhir ini terjadi di tanah Papua, sebagian besar bisa dikatakan tercipta dari era Post Truth yakni tercipta berdasarkan rasa (emosi) dalam menerima informasi dari media sosial yang kemudian mempengaruhi tindakan manusia menjadi anarkis. 

Manusia mudah terprovokasi dengan berbagai postingan yang kebenenaranya masih harus dibuktikan (dipertanyakan).  Manusia menjadi 'serigala' bagi manusia lain. Ungkapan ini memang menjadi momok yang menggerogoti semangat kita dalam memperjuangkan kemanusiaan di tanah Papua.

Era Post Truth

Istilah Post Truth menurut penjelasan kamus Oxford digunakan pertama kali tahun 1992. Istilah itu diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika merefleksikan kasus perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi pada periode tersebut. 

Sementara itu diungkapkan juga oleh Ralph Keyes dalam bukunya ThePost-Truth Era (2004) dan comedian Stpehen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan Post Truth yaitu Truthiness yang kurang lebih artinya adalah sebagai sesuatu yang seolah-olah benar meski hal itu tidak benar sama sekali.

Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata Post Truth sebagai "word of the year". Jumlah penggunaan  istilah Post Truth di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan dengan 2015. 

Ada alasan mengapa kurva penggunaan kata Post Truth melambung tinggi di tahun 2016. Sebagian besar penggunaan kata ini, hampir selalu di sematkan pada dua momen politik paling berpengaruh terhadap dunia yakni keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. 

Dalam hal ini kamus Oxford sendiri mendefenisikan kata Post Truth sebagai kondisi di mana fakta atau kebenaran berdasarkan realitas tidak lagi berpengaruh melainkan opini publik berdasarkan emosi yang berperan dalam membentuk keyakinan personal. Informasi-informasi hoax memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya.

Dalam tulisannya tentang tinjauan buku "Ethics On The News" (dalam Jurnal Komunikasi Indonesia; edisi April, 2017) Kharisma Dhimas Syuhada memaparkan bahwa  banjir infromasi di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial.

Problem manusia post modern ini adalah bukan pada bagaimana mendapatkan informasi melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar. 

Kredibilitas media arus utama yang selalu digerogoti kepentingan elit dan pemilik, memaksa manusia post modern mencari informasi alternatif. Masalahnya medium alternatif macam media sosial terutama 'facebook' tak selalu mengalirkan berita yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun