Mohon tunggu...
Fransiskus Batlayeri
Fransiskus Batlayeri Mohon Tunggu... Lainnya - Batlayeri.jr

Seorang perantau yang lahir dan besar di mabilabol, komplek kecil di Tengah kota Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Post Truth" dan Potensi Konflik di Papua

13 Januari 2022   09:23 Diperbarui: 13 Januari 2022   09:32 1645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang suku di Wamena. Sumber: berita satu.com

Isu soal Papua selalu digiring untuk mengarah kepada ujaran kebencian. Ujaran-ujaran kebencian yang begitu banyak ini terjadi hingga akhirnya bermuara pada ujaran-ujaran rasis. 

Fenomena ini kemudian berkembang biak bagaikan wabah penyakit. Hal ini dengan sangat mudah lalu memunculkan potensi konflik sosial (konflik horisontal).

Tentang Konflik yang terjadi di Papua, alm.Neles Tebay, Pr dalam bukunya  Dialog Jakarta-Papua, menjelaskan bahwa Konflik Papua melibatkan dua pihak yang bertikai yakni pemerintah Indonesia (pemerintah) dan Orang Papua. Konflik ini dimulai sejak Indonesia menguasai Papua tanggal 1 Mei 1963 dan hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh (Neles Tebai, 2009). 

Hal ini kemudian ditegaskan oleh LIPI yang menyebutkan ada beberapa sumber konflik yang harus diselesaikan di tanah Papua mulai dari politik, ekonomi, budaya, sosial, antropologi dan lain sebagainya. Lalu untuk menyelesaikan persoalan itu ditawarkan satu media yakni dialog yang komprehensif antara pihak-pihak yang saling bertikai.

Dalam era post modern ini, konflik sebenarnya yang diungkapkan di atas mulai dialihkan. Berita hoax yang bermunculan dan fake news mulai mengambil perannya oleh orang-orang tertentu yang punya kepentingan. 

Mereka mulai menggiring isu yang sebenarnya mengarah kepada konflik horisontal. Masyarakat mulai diadu domba, berita-berita miring tentang kerusuhan, tentang kebencian, tentang konflik SARA mulai muncul ke permukaan dinding media sosial. 

Masyarakat lalu dibuat tak berdaya dengan mencernanya tanpa berpikir panjang lalu mulai melakukan tindakan anarkis, saling membunuh, saling membenci, saling mengungkapkan ujaran kebencian tanpa berpikir panjang dampaknya bagi keselamatan manusia itu sendiri.


 Era Post Truth dan potensi konflik Di Papua sangatlah relevan, Post Truth memunculkan suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat di Papua. Akhir-akhir ini fenomena era Post Truth menjadi salah satu penyebab tindakan  manusia yang bermuara pada praksis anarkisme. Lalu isu sebenarnya yang menjadi akar konflik dialihkan supaya ada yang menjadi korban.

 Era Post Truth berupaya menggiring opini publik agar tidak melihat akar masalah sebenarnya dalam penyelesaikan konflik yang terjadi. Konflik yang terjadi kemudian digiring lagi agar memunculkan potensi konflik baru.


Dengan demikian era Post Truth di Papua bukan hanya terjadi ketika pemilu (Pilkada) akan berlangsung secara serentak pada 2020 mendatang, dan era Post Truth bukan hanya digunakan oleh para politisi untuk menghalalkan berbagai cara sehingga bisa duduk di 'kursi empuk' pada Pemilu kemarin, melainkan era Post Truth juga masuk dan merebak dalam kehidupan sosial masyarakat Papua. 

Terutama masuk dalam situasi konflik di Papua. Dan era Post Truth ini akhirnya lebih-lebih di gunakan oleh oknum, atau elite tertentu yang ingin supaya konflik yang ada di tanah ini berlangsung terus menerus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun