Salah satu penyebab manusia kehilangan martabatnya adalah karena manusia menempatkan kepentingannya diatas nilai kemanusiaan itu sendiri. Segala cara bisa dihalalkan demi mencapai apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Menghalalkan berbagai cara tentunya membentuk watak manusia yang akan berpotensi pada tindakan tidak menghargai  manusia lain.Â
Proses penghalalan berbagai  cara juga adalah pendekatan yang bersifat destruktif dan sikap ini tentunya berasal dari kerasukan manusia sendiri.Â
Kerakusan ini kemudian membius tindakan manusia sehingga manusia hanya mau memonopoli segala hal demi  kepuasan tujuan pribadi, kelompok atau ras dan bangsa tertentu.Â
Tulisan ini hendak melihat bagaimana Post Truth menyuburkan potensi konflik yang terjadi di Papua. Pada era post modern ini bahasa komunikasi sangat penting bagi semua orang.Â
Bahasa komunikasi adalah sarana untuk manusia mencapai tujuannya menyampaikan maksud dan memperoleh apa yang diinginkannya dengan baik dan benar.Â
Namun, penggunaan bahasa komunikasi pada era post modern ini sarat kepentingan. Kepentingan itu lalu mulai meruntuhkan rasio manusia demi mencapai kebenaran.Â
Kepentingan itu juga  memunculkan potensi konflik yang akarnya sulit terselesaikan akibat dari ketumpulan rasio manusia mencerna informasi sebagai bahasa komunikasi yang sungguh benar adanya.Â
Akhirnya Ketumpulan rasio ini yang menyebabkan manusia sulit membedakan mana yang benar dan mana yang menjadi "benar buatan". Â Akibatnya kebenaran jatuh terbungkus dalam balutan emosi tetapi tidak mengalir dari rasio yang berdasar pada realitas.
Dalam era post modern ini, justru kebenaran menjadi tumpul. Kita tahu bahwa teknologi dibidang komunikasi (media sosial) mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia, termasuk merongrong akal budi dan emosi manusia dalam menyikapi kesesuaian realitas sebagai sebuah kebenaran.Â
Kepuasan manusia terlihat tampak dalam budaya yang konsumtif. Tanpa mencerna dan mengkritisi informasi dengan benar, manusia menerimanya dengan begitu saja.Â
Lalu informasi yang beradar (viral) itu kemudian diterima berdasarkan emosi (rasa) sebagai sebuah kebenaran yang  akhirnya mempengaruhi tindakan manusia untuk berbuat atau melakukan sesuatu berdasarkan "rasa" yang dianggap benar tadi. "Rasa" itu tentunya sesuai dengan praduga sementara yang diterima dari informasi "buta".