Puji Tuhan, penulis masih diberi kesehatan dan pikiran yang jernih. Karena itu, penulis menanam berbagai buah dan sayuran seperti cabai, bayam, sawi, sukun, nangka, mangga, kecombrang, pepaya, pisang, serta melakukan cangkok untuk beberapa pohon. Selain itu, penulis juga memelihara ikan, antara lain lele jumbo, nila, paten, bawal, dan kalui.
Ada pula tanaman liar seperti kangkung, genjer, dan ledi yang sering dijadikan sayur. Dengan begitu, dari segi sayur dan buah-buahan, penulis tidak terlalu khawatir. Hanya beras saja yang kerap menjadi persoalan.
Namun, penulis berpikir, sudahlah, yang penting belum sampai mati kelaparan. Kalau pun suatu saat mati, ya sudah, sebab tidak ada makhluk hidup yang abadi.
Cuma masalahnya, tidak semua orang punya lahan untuk bertanam, meskipun menggunakan polybag. Banyak yang tinggal menyewa, dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Negara memang tampak tidak peduli pada rakyat kecil. Biarlah begitu. Toh, sebagian pemimpin masih merasa seakan-akan mereka adalah pemegang kunci surga.
Karena itu, sulit dibayangkan seperti apa sebenarnya Tuhan yang mereka sembah. Mereka telah berbuat zalim, namun masih merasa hidup suci dan seolah-olah selalu berjalan sesuai perintah agama.
Sementara itu, penulis berusaha tetap bertahan dengan menulis di media sosial. Dari sanalah terkadang datang sedikit rezeki yang bisa dipakai untuk membeli beras. Jika tidak ada, maka ubi kayu atau ubi jalar dijadikan pengganti beras.
Kadang juga ada tetangga yang berbelas kasihan dan memberikan sedikit beras untuk sekadar bertahan hidup.
Padahal kenyataan di negeri ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan pemerintah. Rakyat banyak yang kesulitan makan, bantuan sosial sering salah sasaran, sementara judi dan narkoba merajalela tanpa kendali. Semua itu seolah dibiarkan berjalan bebas, seperti negara ini tidak punya aturan.
Di sisi lain, para elit politik justru sibuk memperkaya diri. Uang rakyat digunakan untuk berfoya-foya, sementara masyarakat di bawah berjuang keras sekadar mencari makan dan pekerjaan.
Pemerintah sering menjanjikan lapangan kerja, tetapi semua itu hanyalah omong kosong. Mereka tidak merasa bersalah meski telah berulang kali berbohong. Ironisnya, para buzzer justru memuji mereka sebagai orang pintar, padahal dari penampilan di media sosial dan cara berbicaranya saja, masyarakat sudah mampu menilai sejauh mana sebenarnya kepintaran itu.