Dalam wacana politik Indonesia, ajakan untuk memboikot pemilu kerap mengemuka di ruang publik, terutama di media sosial. Banyak masyarakat beranggapan bahwa tidak ada gunanya ikut memilih karena hasil pemilu sudah dapat ditebak, yakni dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki modal besar dan akses ke penyelenggara.
Seorang mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan pengalaman dua periode menyatakan secara lugas bahwa "urusan suara itu kuncinya di KPPS."
Menurut pengalamannya, bahkan ketika lima puluh orang memilih seorang calon legislatif, hasil rekapitulasi dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) justru menunjukkan angka nol suara untuk kandidat tersebut.
Fenomena ini mengguncang keyakinan publik akan adagium klasik demokrasi: vox populi, vox dei; suara rakyat adalah suara Tuhan.
KPPS sebagai Titik Kritis Pemilu
Dalam struktur penyelenggaraan pemilu Indonesia, KPPS memiliki peran strategis karena bertugas langsung di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Mereka memverifikasi daftar pemilih, mengatur jalannya pemungutan, menghitung suara, dan mencatat hasil penghitungan dalam formulir resmi. Dengan kata lain, KPPS adalah pintu pertama dan utama dalam proses rekapitulasi suara.
Secara teoritis, integritas pemilu ditentukan oleh akurasi data sejak level paling bawah. Menurut teori electoral integrity (Norris, 2014), distorsi sekecil apa pun di tahap awal akan berimplikasi besar pada legitimasi hasil akhir.
Jika manipulasi terjadi di KPPS, maka kerusakan data sudah bersifat fundamental. Oleh karena itu, pengalaman tentang hilangnya suara calon legislatif hingga menjadi nol bukan sekadar anomali administratif, melainkan bukti adanya potensi fraud elektoral yang sistematis.
Boikot Pemilu: Antara Simbolisme dan Ketidakberdayaan