Guru di sebut pahlawan tanpa tanda jasa, termasuk guru honorer. Namun kenyataan justru terbalik dengan keadaannya. Guru honorer di suruh menjadi seperti ular yang puasa panjang sebelum menerima gaji berikutnya.
Analogi ini mungkin terdengar aneh dan sedikit menimbulkan tanda tanya, tetapi sayangnya istilah istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi para guru honorer di seluruh Indonesia.
Anda bisa membayangkan seekor ular, dia punya kebiasaan dan kemampuan untuk lama tidak makan atau istilahnya puasa panjang, bahkan selama berbulan-bulan setelah menelan makanannya yang cukup besar.
Tubuhnya menyimpan energi yang sangat besar yang oleh tubuhnya diolah secara perlahan sehingga bisa bertahan selama beberapa bulan. Bayangkanlah mondisi itu yang terjadi pada guru honorer sekarang.
Hanya sedikit bedanya, honor guru sangat kecil dan dia tidak punya kemampuan untuk berpuasa selama berbulan-bulan, karena kemampuan manusia berpuasa itu hanya rata-rata hanya bertahan 3--5 hari.
Dalam kondisi tertentu (udara sejuk, tidak banyak bergerak, kelembapan baik), ada yang bisa sampai 7 hari. Tetapi di kondisi panas, keringat banyak keluar, bisa 1--2 hari saja sebelum dehidrasi parah.
Sedangkan tidak makan tetapi tetap minum maka akan bertahan rata-rata orang bisa bertahan 30--40 hari. Inilah yang terjadi pada guru honorer. Jadi sangat tidak manusiawi.
Sementara itu, di sudut lain negeri ini, meja-meja jamuan para pejabat negara justru penuh sesak. Setiap kali ada rapat, pertemuan, atau acara seremonial, menu yang dihidangkan sering kali melimpah ruah.
Hidangan mewah berjejer di atas meja panjang: daging sapi, ayam, ikan, aneka kue, minuman manis, hingga buah segar yang menggunung. Jumlahnya tak jarang lebih banyak dari yang bisa mereka habiskan.
Akhirnya, makanan berlimpah itu berakhir di tempat sampah atau dibawa pulang tanpa rasa bersalah.
Kontras yang tajam inilah yang menyayat hati. Guru honorer menahan lapar karena honor minim yang datangnya telat, sementara para pengambil kebijakan yang seharusnya memperjuangkan nasib mereka malah asyik bergelimang kenyamanan.
Perbandingan ini bukan sekadar retorika, melainkan realita yang bisa kita saksikan setiap hari. Jadi guru honorer dipaksa menjadi seperti ular, puasa selama berbulan-bulan.
Padahal, guru honorer tetap harus mengajar dengan semangat penuh. Mereka berdiri di depan papan tulis, membimbing anak-anak bangsa, memeriksa tugas, menyiapkan rencana pelajaran, dan terkadang menjadi pengganti orang tua di sekolah. Tugas mereka sama beratnya dengan guru PNS, bahkan terkadang lebih, karena jumlah guru honorer sering tidak sebanding dengan jumlah siswa.
Namun, ketika tiba waktunya menerima penghargaan berupa gaji, perbedaan perlakuan begitu nyata. Guru PNS menerima gaji tetap setiap bulan dengan berbagai tunjangan, sedangkan guru honorer hanya bisa berharap pada honor yang datang terlambat.
Jumlahnya pun sering kali tidak sepadan dengan jerih payah: ratusan ribu rupiah untuk tiga bulan, atau mungkin hanya sejuta rupiah untuk enam bulan. Coba bayangkan bagaimana keluarga bisa bertahan dengan angka itu.
Di tengah situasi seperti ini, muncul pertanyaan: apakah guru honorer benar-benar dianggap pahlawan, atau sebenarnya mereka hanyalah korban dari sistem yang tidak adil? Banyak pejabat berdiri di podium dan berapi-api menyebutkan pentingnya pendidikan.
Mereka menyampaikan janji manis tentang peningkatan kualitas guru, kurikulum baru, dan reformasi pendidikan. Namun, sering kali mereka lupa menengok kenyataan paling mendasar: bagaimana mungkin kualitas pendidikan meningkat jika guru honorer sendiri dipaksa hidup seperti ular yang berpuasa panjang?
Guru honorer bukan hanya tenaga cadangan yang bisa dipanggil dan dibuang sesuka hati. Mereka adalah manusia yang memiliki keluarga, kebutuhan, dan harga diri. Mereka juga memiliki cita-cita untuk mengubah nasib murid-muridnya. Namun, kebijakan yang diskriminatif justru membuat mereka semakin terpinggirkan.
Persoalan honor yang minim dan telat ini bukan sekadar masalah individu. Ia adalah luka sosial yang dalam. Ketika guru honorer hidup serba kekurangan, anak-anak didik secara tidak langsung juga terkena dampaknya.
Bagaimana mungkin seorang guru bisa fokus mengajar jika pikiran mereka selalu digelayuti pertanyaan: "Besok anak saya makan apa? Bagaimana bayar uang sekolah anak sendiri? Dari mana biaya transport ke sekolah bulan ini?"
Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa mematikan motivasi generasi muda untuk menjadi guru. Jika melihat senior-senior mereka menderita dalam status honorer, siapa yang mau lagi menapaki jalan yang sama? Akhirnya, profesi guru yang seharusnya mulia justru kehilangan daya tariknya.
Banyak alasan yang sering dikemukakan untuk membenarkan perlakuan tidak adil ini. Ada yang mengatakan anggaran terbatas. Ada pula yang menyebut mekanisme birokrasi harus dijalani.
Namun, bukankah anggaran untuk jamuan, perjalanan dinas, atau pembangunan gedung megah selalu tersedia? Bukankah birokrasi bisa dipercepat jika ada kemauan?
Pada akhirnya, masalah ini bukan semata-mata soal keterbatasan, melainkan soal prioritas. Jika pendidikan benar-benar dianggap penting, semestinya guru honorer tidak diperlakukan seperti ular yang dipaksa berpuasa panjang.
Meski gelap, masih ada cahaya harapan. Beberapa daerah mulai memperjuangkan nasib guru honorer dengan memberikan tambahan insentif dari anggaran daerah. Ada pula gerakan masyarakat yang mendukung kesejahteraan guru melalui donasi. Namun, semua itu hanyalah solusi sementara.
Yang lebih mendesak adalah perubahan sistemik. Pemerintah pusat harus berani membuat kebijakan tegas untuk menyejahterakan guru honorer. Honorarium harus layak dan dibayarkan tepat waktu. Status guru honorer juga harus dipandang sebagai bagian integral dari tenaga pendidik, bukan sekadar pengisi kekosongan.
Guru honorer bukan ular. Mereka manusia yang berdiri tegak di depan kelas demi masa depan bangsa. Memaksa mereka bertahan dengan honor minim yang cairnya tiga atau enam bulan sekali adalah bentuk ketidakadilan yang menjerat martabat.
Jika bangsa ini benar-benar menghargai pendidikan, maka sudah sepatutnya guru honorer mendapat perlakuan manusiawi. Jangan lagi ada pahlawan tanpa tanda jasa yang dipaksa menjadi ular. Sebab, masa depan bangsa tidak akan lahir dari ketidakadilan, melainkan dari penghormatan terhadap mereka yang mendidik generasi.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI