Kontras yang tajam inilah yang menyayat hati. Guru honorer menahan lapar karena honor minim yang datangnya telat, sementara para pengambil kebijakan yang seharusnya memperjuangkan nasib mereka malah asyik bergelimang kenyamanan.
Perbandingan ini bukan sekadar retorika, melainkan realita yang bisa kita saksikan setiap hari. Jadi guru honorer dipaksa menjadi seperti ular, puasa selama berbulan-bulan.
Padahal, guru honorer tetap harus mengajar dengan semangat penuh. Mereka berdiri di depan papan tulis, membimbing anak-anak bangsa, memeriksa tugas, menyiapkan rencana pelajaran, dan terkadang menjadi pengganti orang tua di sekolah. Tugas mereka sama beratnya dengan guru PNS, bahkan terkadang lebih, karena jumlah guru honorer sering tidak sebanding dengan jumlah siswa.
Namun, ketika tiba waktunya menerima penghargaan berupa gaji, perbedaan perlakuan begitu nyata. Guru PNS menerima gaji tetap setiap bulan dengan berbagai tunjangan, sedangkan guru honorer hanya bisa berharap pada honor yang datang terlambat.
Jumlahnya pun sering kali tidak sepadan dengan jerih payah: ratusan ribu rupiah untuk tiga bulan, atau mungkin hanya sejuta rupiah untuk enam bulan. Coba bayangkan bagaimana keluarga bisa bertahan dengan angka itu.
Di tengah situasi seperti ini, muncul pertanyaan: apakah guru honorer benar-benar dianggap pahlawan, atau sebenarnya mereka hanyalah korban dari sistem yang tidak adil? Banyak pejabat berdiri di podium dan berapi-api menyebutkan pentingnya pendidikan.
Mereka menyampaikan janji manis tentang peningkatan kualitas guru, kurikulum baru, dan reformasi pendidikan. Namun, sering kali mereka lupa menengok kenyataan paling mendasar: bagaimana mungkin kualitas pendidikan meningkat jika guru honorer sendiri dipaksa hidup seperti ular yang berpuasa panjang?
Guru honorer bukan hanya tenaga cadangan yang bisa dipanggil dan dibuang sesuka hati. Mereka adalah manusia yang memiliki keluarga, kebutuhan, dan harga diri. Mereka juga memiliki cita-cita untuk mengubah nasib murid-muridnya. Namun, kebijakan yang diskriminatif justru membuat mereka semakin terpinggirkan.
Persoalan honor yang minim dan telat ini bukan sekadar masalah individu. Ia adalah luka sosial yang dalam. Ketika guru honorer hidup serba kekurangan, anak-anak didik secara tidak langsung juga terkena dampaknya.
Bagaimana mungkin seorang guru bisa fokus mengajar jika pikiran mereka selalu digelayuti pertanyaan: "Besok anak saya makan apa? Bagaimana bayar uang sekolah anak sendiri? Dari mana biaya transport ke sekolah bulan ini?"
Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa mematikan motivasi generasi muda untuk menjadi guru. Jika melihat senior-senior mereka menderita dalam status honorer, siapa yang mau lagi menapaki jalan yang sama? Akhirnya, profesi guru yang seharusnya mulia justru kehilangan daya tariknya.