Banyak alasan yang sering dikemukakan untuk membenarkan perlakuan tidak adil ini. Ada yang mengatakan anggaran terbatas. Ada pula yang menyebut mekanisme birokrasi harus dijalani.
Namun, bukankah anggaran untuk jamuan, perjalanan dinas, atau pembangunan gedung megah selalu tersedia? Bukankah birokrasi bisa dipercepat jika ada kemauan?
Pada akhirnya, masalah ini bukan semata-mata soal keterbatasan, melainkan soal prioritas. Jika pendidikan benar-benar dianggap penting, semestinya guru honorer tidak diperlakukan seperti ular yang dipaksa berpuasa panjang.
Meski gelap, masih ada cahaya harapan. Beberapa daerah mulai memperjuangkan nasib guru honorer dengan memberikan tambahan insentif dari anggaran daerah. Ada pula gerakan masyarakat yang mendukung kesejahteraan guru melalui donasi. Namun, semua itu hanyalah solusi sementara.
Yang lebih mendesak adalah perubahan sistemik. Pemerintah pusat harus berani membuat kebijakan tegas untuk menyejahterakan guru honorer. Honorarium harus layak dan dibayarkan tepat waktu. Status guru honorer juga harus dipandang sebagai bagian integral dari tenaga pendidik, bukan sekadar pengisi kekosongan.
Guru honorer bukan ular. Mereka manusia yang berdiri tegak di depan kelas demi masa depan bangsa. Memaksa mereka bertahan dengan honor minim yang cairnya tiga atau enam bulan sekali adalah bentuk ketidakadilan yang menjerat martabat.
Jika bangsa ini benar-benar menghargai pendidikan, maka sudah sepatutnya guru honorer mendapat perlakuan manusiawi. Jangan lagi ada pahlawan tanpa tanda jasa yang dipaksa menjadi ular. Sebab, masa depan bangsa tidak akan lahir dari ketidakadilan, melainkan dari penghormatan terhadap mereka yang mendidik generasi.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI