Pukul 04.12 pagi.
Alarm tidak berbunyi. Bukan karena lupa disetel, tapi karena Dariawati memang tidak tidur. Matanya sudah terbuka sejak pukul 2.17, setelah si kecil menangis karena batuk.
Bau rokok ayahnya, Hitler, yang entah kenapa masih dipanggil begitu walau bukan nama asli, menyeruak dari kamar depan. Satu slop per hari, katanya. Tapi siapa yang menghitung? Selain paru-parunya sendiri.
Dariawati bangkit dari kasur tipis di lantai. Di sebelahnya, Nullok, suaminya, masih setengah terjaga, memeluk guling sambil mendengus pelan. Dariawati menghela napas, pelan. Ia tidak punya waktu untuk menunggu matahari menyapa. Karena sebelum itu, dia harus:
  Memasak nasi untuk 12 orang.
  Menyiapkan sarapan, untuk abang iparnya David dan kakak kandungnya Marniwati yang hanya mau makan telur setengah matang dengan roti panggang (pakai mentega luar, bukan margarin curah).
  Menyiapkan empat baju seragam untuk anak-anak Marniwati.
  Menyetrika sisa cucian kemarin 2 baskom besar.
  Mengeringkan cucian malam yang belum sempat dijemur.
  Memberi makan ayam petelur mereka.
  Bikin kopi untuk Hitler, yang akan marah kalau tidak panas dan hitam legam seperti kebenciannya terhadap generasi milenial.