Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Relawan Kematian

6 April 2020   12:02 Diperbarui: 7 April 2020   10:17 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap hari aku memejamkan mataku demi bisa bertemu dengannya. Rasa sepiku mulai berkurang. Aku merasa sedih dan bahagia disaat yang bersamaan. Kemudian aku sadar, ku rasa Tuhan hanya memberiku waktu sebentar untuk melihatnya. Karena setiap kali waktuku habis, tubuhku dihempaskan begitu saja ke jembatan itu."

"Aku mulai terbiasa, hempasan menyakitkan itu tidak ada artinya bagiku, asalkan aku bisa melihat ibu. Sampai suatu malam, aku lihat dia mengunci semua pintu dan jendela rumah. Aku melihat dia membawa tali dan masuk ke kamarku. Sebelum aku tahu apa yang akan dia lakukan, aku sudah kembali ke jembatan itu. Aku coba memejamkan mataku ratusan kali, tapi aku tidak bisa kembali. Begitu juga hari-hari berikutnya."

"Aku memejamkan mata dan berdoa agar Ibuku tidak bunuh diri. Dan, ketika aku membuka mataku, aku berada di gedung ini. Aku melihat orang-orang sepertiku di bawah sana. Mereka bilang kalian bisa menolong kami. Tolong aku, aku ingin tahu apakah ibuku masih hidup. Aku ingin bertemu dan minta maaf padanya, tolong jangan biarkan dia bunuh diri." ucapnya putus asa.

Tidak lama aku meraih kedua tangannya dan menggenggamnya dengan erat. Aku membawanya kembali ke malam itu. Di sana, kami melihat ibunya sedang duduk di atas tempat tidur dan menatap ke arah jendela kamar yang terbuka lebar.

Semilir angin malam itu mengibaskan rambutnya yang terurai panjang. Perempuan paruh baya itu mulai menitikkan air mata. Tetes demi tetes jatuh membasahi tangannya. 

Pandangannya beralih menuju ke tali dan sebuah pengait yang sedang dia genggam. Perlahan dia menjulurkan tali tersebut dan membuat sebuah simpul. Adelia jatuh terduduk, dia tak kuasa melihatnya. 

Ibunya mengambil kursi dan meletakkannya di atas ranjang. Dia menaiki kursi tersebut, memasang pengait dan tali di atas langit-langit kamar. Dengan tangan gemetar, perlahan dia memasukkan lehernya ke dalam tali tersebut.

Adelia bangkit berdiri, naik ke atas ranjang itu. Sebisa mungkin dia berusaha meraih tubuh ibunya. Sekeras apapun dia mencoba, tangannya tidak bisa menyentuh. Dia melihat ke arahku, matanya meminta pertolongan.  

"Tolong hentikan dia, kumohon hentikan ibuku!"

Aku juga ingin menghentikannya. Tapi aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya ingin dia melihat apa yang seharusnya dia lihat pada malam itu.  

Adelia menatap ibunya sambil memohon, "Jangan lakukan bu, tolong jangan lakukan, jangan lakukan, jangan lakukan bu, tolong jangan lakukan ini." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun