Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) adalah lembaga nirlaba yang dibentuk oleh pemerintah (melalui Kementerian Hukum dan HAM) untuk mengelola royalti lagu dan musik atas nama pencipta, pemilik hak terkait, dan penerbit musik secara kolektif.
 Fungsi Utama LMKN:
Menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti.
-
Menetapkan besaran tarif royalti.
Mengelola sistem informasi lagu/musik (SILM).
Menjadi penghubung antara pengguna musik dan pemilik hak cipta.
Dasar Hukum Kebijakan Royalti Musik di Indonesia
1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pasal 9: Pemanfaatan karya cipta (lagu/musik) untuk tujuan komersial wajib mendapat izin dan membayar royalti.
Pasal 87--90:
Pembentukan LMK dan LMKN.
LMKN diberi wewenang mengelola royalti secara nasional.
LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) adalah organisasi para pencipta atau pemilik hak terkait.
LMKN bekerja atas kuasa LMK untuk menarik dan mendistribusikan royalti.
2. Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021
Tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik:
Pasal 3 (1): Setiap orang yang memanfaatkan musik/lagu secara komersial wajib bayar royalti ke LMKN.
Pasal 10: Pengguna tidak perlu izin langsung, tapi cukup membayar royalti via LMKN.
Pasal 14--17: Aturan distribusi royalti, audit keuangan, dan kewajiban transparansi LMKN.
Pasal 18--20: Struktur, fungsi, dan kerja sama LMKN.
3. Permenkumham No. 9 Tahun 2022
Tentang Tata Cara Pemberian Izin Operasional LMK:
LMK dan LMKN harus berbadan hukum nirlaba.
Minimal jumlah anggota: 200 (ciptaan), 50 (hak terkait).
Wajib memiliki izin resmi dari Menteri Hukum dan HAM.
Mekanisme Kerja LMKN dalam Mengelola Royalti
    Langkah-langkah Proses Royalti:
Pengguna musik komersial (misalnya: restoran, hotel, bioskop, konser, radio, TV, dll.) melaporkan penggunaan musik ke LMKN.
LMKN menggunakan SILM (Sistem Informasi Lagu dan Musik) untuk mencocokkan penggunaan dengan daftar lagu yang telah terdaftar.
Tarif royalti ditentukan oleh LMKN berdasarkan jenis usaha dan pemanfaatannya (misalnya: konser besar vs kafe kecil).
LMKN menarik pembayaran royalti dari pengguna lalu menyalurkannya ke para pemilik hak melalui LMK masing-masing.
LMKN melakukan audit keuangan tahunan dan wajib mempublikasikan laporan distribusi royalti.
Objek yang Wajib Bayar Royalti, menurut PP No. 56 Tahun 2021 dan LMKN, yang wajib bayar royalti meliputi:
Hotel, kafe, restoran
Bioskop, karaoke
Televisi, radio
Transportasi publik (pesawat, kereta)
Pertunjukan langsung (konser)
Website/platform digital (jika tidak ada lisensi langsung)
Berikut adalah rincian distribusi royalti musik yang diterima dari berbagai pengguna lagu pada kuartal pertama tahun 2025. Royalti ini dihimpun oleh LMKN dari berbagai sektor seperti konser, restoran, bioskop, dan platform digital.
Berdasarkan PP 56/2021:
80% untuk pemilik hak (pencipta, pemusik, penerbit).
20% untuk biaya operasional (LMKN dan LMK).
Namun, dalam praktiknya ada potongan tambahan oleh LMK, sehingga hasil bersih bagi pencipta bisa lebih rendah. Setelah dikurangi biaya operasional (20%), royalti yang diterima oleh pencipta dan pemegang hak terkait dibagi berdasarkan kesepakatan dan perjanjian yang berlaku.
 Isu dan Tantangan Kebijakan LMKN
    a. Transparansi dan Akuntabilitas
Banyak pencipta mengeluhkan kurangnya keterbukaan dalam distribusi royalti.
LMKN dinilai belum maksimal dalam menyediakan data pemakaian lagu dan besaran pembayaran.
    b. Ketidaksesuaian Royalti
Royalti yang diterima pencipta kadang tidak sebanding dengan tingkat pemakaian lagunya.
Contoh: Seorang pencipta lagu populer hanya mendapat ratusan ribu rupiah per tahun.
    c. Potensi Duplikasi Pemotongan
Selain 20% di LMKN, LMK juga memotong biaya pemilik hak menerima lebih sedikit.
Belum ada pengawasan penuh terhadap efisiensi biaya operasional LMK.
    d. Masalah Infrastruktur & Sosialisasi
SILM belum sepenuhnya matang, masih ada kendala teknis.
Banyak pengguna belum memahami kewajiban mereka membayar royalti terjadi pelanggaran atau ketidaktahuan.
Penjabaran Tarif Royalti Berdasarkan Sektor
Konser dan Pertunjukan
Tarif Royalti: Sekitar Rp 10,000 per tiket yang terjual, tergantung pada skala acara.
Cara Penghitungan: Jumlah tiket x Rp 10,000. Misalnya, jika konser menjual 10,000 tiket, royalti yang dihimpun adalah Rp 100,000,000.
Restoran dan Kafe
Tarif Royalti: Rp 500,000 - Rp 1,500,000 per bulan.
Cara Penghitungan: Berdasarkan luas tempat usaha dan jenis penggunaan musik (misalnya, musik latar, live performance).
Radio dan Televisi
Tarif Royalti: Sekitar Rp 1,000,000 - Rp 5,000,000 per bulan, tergantung pada rating acara.
Cara Penghitungan: Berdasarkan jumlah jam tayang dan jenis acara yang melibatkan musik.
Platform Digital (Spotify, YouTube, dsb.)
Tarif Royalti: Rp 0.01 - Rp 0.50 per stream.
Cara Penghitungan: Berdasarkan jumlah pemutaran per lagu atau jumlah pengguna aktif.
Bioskop dan Pusat Hiburan
Tarif Royalti: Rp 10,000 - Rp 100,000 per pemutaran.
Cara Penghitungan: Berdasarkan frekuensi pemutaran film atau hiburan yang mengandung musik.
 Upaya Perbaikan dan Rekomendasi
Optimalisasi SILM untuk pencatatan lagu dan transparansi pemakaian.
Sosialisasi lebih intensif kepada pelaku usaha dan publik.
Audit independen secara rutin atas distribusi royalti.
Peningkatan pengawasan LMK agar tidak terjadi pemotongan ganda berlebihan.
Pembentukan kantor cabang LMKN di berbagai provinsi.
Â
Sumber Rujukan Terverifikasi
UU No. 28 Tahun 2014 -- Tentang Hak Cipta (Peraturan BPK RI)
PP No. 56 Tahun 2021 -- Tentang Pengelolaan Royalti Lagu/Musik (setkab.go.id)
Permenkumham No. 9 Tahun 2022 -- (smartlegal.id)
Situs Resmi LMKN -- www.lmkn.id
Analisis Akademik -- Jurnal Ilmiah Mahasiswa USK (jim.usk.ac.id)
Artikel Hukum -- HukumOnline.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI