Belum habis pikiranku membayangkan kebaikan Dimas, aku lihat orang-orang berlarian. Aku panik, di kejauhan, tampak gelombang besar menuju pantai, semburannya  yang cepat seolah ingin menelan siapa pun di sekelilingnya. Aku terpaku di tempat dan tak kuasa berlari. Gambaran menakutkan yang selama ini berlarian dalam angan kini ada dihadapan
"Oh, Tuhan. Bagaimana aku mampu mendustai kemahaanMu, bagaimana aku bisa menghindar sementara ragaku sama-sekali tak mampu kugerakkan"
"Ayo, Del. Kita pergi, menyelamatkan diri". Dimas menarik tanganku dan berupaya menyeret tubuhku, ketika genangan air menyentuh kaki-kaki kami, tubuhku melemah, pandangan mengabur, aku tak ingat apa-apa lagi.
 *****
"Bangun, sayang! Ini ibu, Nak!" Sebuah suara mendengung di telingaku, aku merasakan tangan-tangan mengguncang tubuhku. Aku tak kuasa bergerak, tubuhku serasa lumpuh. Beberapa detik kemudian, aku dengar suara tangis seseorang, begitu cemas dan memilukan.
"Andai kau mendengar kata-kata Ibu, semua tak kan terjadi, Nak"
Mataku terasa berat, tapi aku harus bisa, setelah bersusah payah aku bisa membuka mata. Kulihat ibu, kak Nesta juga Om dan tante Fina berdiri di dekatku.
"Bu, maafkan Adel," aku tak kuasa berucap setelah perempuan yang sangat menyayangi aku itu, memelukku erat-erat. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ya Dimas, mana Dimas?
"Dimas di mana, Ibu?" Suaraku tetbata-bata. Ibu menggeleng kuat-kuat. Diikuti kak Nesta dan yang lain. Tak ada yang membuka suara, satu persatu nereka saling tatap, aku makin penasaran tapi mencoba untuk tabah.
"Yang sabar ya, Del. Dimas sudah tenang di sana". Suara kak Nesta tersendat-sendat, kemudian memburuku dan memelukku dengan terisak. Aku lunglai seketika, separuh jiwaku terasa pergi. Tiba-tiba, aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada, aku ambruk dan tak sadarkan diri lagi.
****
Kulihat, Dimas tersenyum ke arahku. Wajahnya begitu sumringah dengan pakaian serba putih. Di tangannya, menggengam sebuah cincin.